Menteri Jangan Lagi Merangkap Caleg
Menteri Jangan Lagi Merangkap Caleg
Sebanyak delapan orang Menteri dan Wakil Menteri di Pemerintahan Joko Widodo mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislative (Caleg) DPR RI di Pemilihan Umum 2024 mendatang. Mereka antara lain Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia Abdul Halim Iskandar, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Angela Tanoesoedibjo, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid, dan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor. Nama lainnya yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah, Menteri Komunikasi dan Informatika Jhony G Plate dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Menteri atau Wakil Menteri yang mendaftarkan diri sebagai caleg bukan kali ini saja terjadi. Pada Pemilu 2019 lalu, sebanyak tujuh Menteri pada Kabinet Kerja Jokowi juga maju sebagai caleg. Pada tahun 2014, terdapat 10 menteri aktif dalam Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ikut berlaga dalam Pemilu 2014. Mayoritas mentersi tersebut akhirnya terpilih sebagai anggota legislatif di Senayan.
Fenomena Menteri aktif menjadi caleg menarik untuk dicermati. Secara hukum sesungguhnya tidak ada regulasi yang dilanggar. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak mengatur keharusan menteri yang menjadi caleg untuk mengundurkan diri. Dalam Pasal 240 huruf k UU Pemilu menegaskan keharusan mundur ketika menjadi caleg hanya berlaku untuk kepala daerah aktif, wakil kepala daerah aktif, aparatur sipil Negara, TNI, Polri, dan karyawan/pejabat BUMN.
Pada sisi lain Presiden Jokowi sendiri tidak juga melarang anak buahnya menjadi caleg dan bahkan tidak juga meminta mereka mundur. Jokowi berpendapat mendaftar sebagai caleg merupakan salah satu tugas yang diberikan partai kepada kader yang kebetulan saat ini menjadi menteri.
Namun secara etika politik dan moralitas keberadaan menteri yang merangkap menjadi Caleg akan memunculkan persoalan yang pada akhirnya merugikan kinerja pemerintahan yang saat ini berkuasa.
Rangkap status sebagai caleg menyebabkan focus sang menteri menjadi terbelah. Pada satu sisi harus menyiapkan diri menjadi caleg termasuk melakukan proses kampanye, namun pada sisi lain harus menjalankan tugas- tugas sebagai menteri. Selain berkampanye untuk diri sendiri, Menteri yang juga caleg juga harus berkampanye untuk partai politik dan capres – cawapres yang diusung oleh partai. Program kerja di kementerian pastinya tersendat jika menterinya banyak melakukan aktivitas kampanye.
Keikutsertaan sebagai caleg juga menyebabkan loyalitas ganda sang menteri. Sebagai pembantu presiden, menteri harus loyal atau patuh kepada Presiden. Namun pada sisi lain sebagai kader, menteri yang berasal dari partai harus tunduk pula pada perintah atau kemauan dari pimpinan partai.
Tidak saja dipertanyakan secara etika dan loyalitas, menteri yang maju sebagai caleg sangat rentan terhadap penyalahgunaan jabatan dan wewenang. Meskipun mengajukan cuti, namun status menteri pastinya melekat bagi dirinya hingga jabatannya berakhir. Ketika melakukan proses kampanye untuk Pemilu mendatang sangat mungkin terjadi pemanfaatan fasilitas negara yang dimiliki menteri untuk kepentingan pribadi maupun partai. Kunjungan menteri ke suatu daerah nantinya juga akan menjadi bias apakah kehadirannya sebagai pejabat negara ataukah sebagai caleg.
Fenomena Menteri atau Wakil Menteri yang juga merangkap sebagai caleg sudah seudah seharusnya diakhiri untuk mencegah terjadinya pelanggaran etika, konflik kepentingan dan loyalitas ganda. Presiden sebagai atasan harusnya tegas meminta Menteri yang mendaftar sebagai caleg untuk memutuskan pilihan yaitu mundur sebagai menteri agar focus menjadi caleg atau mundur menjadi caleg agar focus menjadi menteri.
Emerson Yuntho
Wakil Direktur Visi Integritas