Memperkuat Integritas Perguruan Tinggi
Memperkuat Integritas Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi yang mestinya berperan dalam membersihkan korupsi ternyata mulai dikotori praktik tercela tersebut. Berbagai kasus yang melibatkan civitas academica termasuk rektor mulai terungkap. Harus ada langkah serius guna memperkuat integritas dan tata kelola, jika tidak agar kampus akan berada di barisan pelaku korupsi.
Belum selesai persidangan mantan Rektor Universitas Udayana I Nyoman Gde Antara yang diduga korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi jalur mandiri, dua mantan Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Hasan Fauzi dan Tri Atmojo melaporkan dugaan korupsi di kampusnya kepada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Menurut Hasan, kasus terjadi pada tahun anggaran 2022 dan 2023 dengan total mencapai Rp. 57 miliar.
Praktik korupsi di perguruan tinggi memang sudah masuk fase mengkhawatirkan. Sejumlah mantan rektor bahkan harus masuk bui karena terlibat berbagai kasus penyelewengan kebijakan dan anggaran. Sebut saja mantan Rektor Universitas Lampung Karomani yang divonis 10 tahun penjara terkait korupsi penerimaan mahasiswa baru. Pada Januari 2023 mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Akhmad Mujahidin divonis penjara selama 2 tahun 10 bulan karena kolusi pengadaan jaringan internet kampus.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch, praktik kecurangan dan korupsi di kampus merentang dari urusan penerimaan mahasiswa baru, pengadaan barang dan jasa hingga suap dalam akreditasi. Setidaknya ada 12 area rawan korupsi. Selain itu, pejabat struktural kampus dan rektor menjadi pelaku korupsi terbanyak (ICW:2016).
Stephen P. Heyneman (2009), professor of International Education Policy dari Vanderbilt University membagi korupsi pendidikan ke dalam empat kategori (Heyneman:2009). Pertama, korupsi dalam mekanisme rekrutmen mahasiswa, pengajar, dan pejabat/pegawai internal. Kedua, pengadaan barang dan jasa. Sama seperti kebanyakan instansi lain, modusnya berupa manipulasi spesifikasi barang dan kolusi dalam memilih rekanan.
Ketiga, terkait fungsi pendidikan seperti pemilihan peserta program pelatihan, memperoleh akreditasi/sertifikasi dari instansi pemerintah, dan suap untuk mendapat nilai. Keempat, pelanggaran etika professional bentuknya antara lain menerima hadiah kelulusan, mengungkap rahasia tentang peserta didik, hingga memanfaatkan asset perguruan tinggi untuk kepentingan pribadi.
Makin maraknya praktik korupsi di perguruan tinggi sangat mengkhawatirkan. Sebab dampak buruknya melebihi sektor lain seperti pemerintah dan korporasi. Selain merugikan keuangan negara, mempersempit ruang warga untuk mendapat layanan pendididikan tinggi, juga menurunkan kualitas belajar mengajar. Dampak lainnya adalah kampus bisa menjadi tempat belajar korupsi dan ini yang paling berbahaya.
Misalnya korupsi terkait fungsi pendidikan dan pelanggaran etika professional. Banyak yang mengabaikan karena jumlahnya kecil dan dianggap tidak ada kaitannya dengan pidana. Lama-lama praktik pelanggaran akan dianggap lazim dan menjadi keharusan. Pada akhirnya berubah menjadi budaya.
Sudah saatnya, pemerintah dan perguruan tinggi membenahi tata kelola dan memperkuat integritas. Apabila dibandingkan sektor swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sistem antikorupsi di perguruan tinggi masih tertinggal. Bahkan belum banyak yang memiliki mekanisme untuk mencegah, memitigasi, dan menangani korupsi. Termasuk peta risiko korupsi dan mekanisme pengaduan pelaporan.
Ketika BUMN dan swasta berbondong-bondong menerapkan SNI ISO 37001:2016 Sistem Manajemen Anti-Penyuapan dan memperkuat mekanisme pelaporan pengaduan (Whistle Blowing System), tidak banyak kampus yang tergerak untuk mengikuti. Padahal perguruan tinggi lebih berkepentingan. Sebab selain agar bebas dari korupsi, juga menjadi bagian dalam melawan praktik tercela tersebut.
Oleh karena itu, penerapan sistem antikorupsi/penyuapan secara sungguh-sungguh sudah menjadi kebutuhan mendesak. Tidak hanya bisa menyelamatkan civitas academica dari ancaman pidana dan reputasi buruk, juga akan mengembalikan kepercayaan dan harapan masyarakat. Perguruan tinggi harus ada di garda terdepan dalam melawan korupsi yang kini menjadi masalah utama di Indonesia.
Ade Irawan
Direktur Visi Integritas