Agar Target Penerimaan Negara Tercapai, Pemerintah Harus Optimalkan PNBP dan Cukai
Pandemi yang telah berjalan satu tahun lebih, mempengaruhi keuangan negara. Melalui program refocusing yang dilakukan kementerian, lembaga non kementerian dan pemerintah daerah hanya menggeser prioritas saja.
Defisit anggaran tak bisa dihindarkan. Pemerintah akhirnya harus bersusah payah menggali potensi baru penerimaan keuangan negara. Beberapa sumber penerimaan negara yang kurang optimal dibenahi.
Untuk lebih menajamkan strategi dan upaya pemerintah sekaligus membantu pemerintah menajamkan ide-ide itu Visi Integritas menyelenggarakan webinar bertajuk Peningkatan Penerimaan Negara Melalui Aksi Fokus Keuangan Negara. Acara yang diselenggarakan Senin pagi, 3 Mei 2021 ini menghadirkan nara sumber Fridolin Berek (Stranas PK), Slamet Widodo (BKF Kementerian Keuangan), Danang Widoyoko (Sekjen Transparansi Internasional indonesia), Misbah Hasan (Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran – FITRA). Kemudian dimoderatori oleh Sely Martini (Visi Integritas).
Keempat narasumber hampir bersepakat bahwa insiatif strategis pemerintah yang harus dilakukan saat ini adalah meningkatkan dua sumber penerimaan negara, yaitu melalui pembenahan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Cukai.
Seperti diketahui tahun 2020 adalah tahun kritis perekonomian nasional. Sementara tahun 2021 meskipun masih berjalan, namun diproyeksikan sebagai tahun kebangkitan dan pemulihan ekonomi setelah didera pandemi.
Mengutip dokumen strategi nasional pencegahan korupsi, Danang Widoyoko menyebutkan bahwa prioritas pencegahan korupsi adalah tercapainya penerimaan PNBP oleh beberapa K/L: Kemenhub, Kominfo, Kemenkumham Kemendikbud, Polri, Kemenkeu dll. Kemudian secara khusus Stranas PK juga fokus pada PNBP dari cukai; dengan target tercapainya realisasi penerimaan dari cukai serta menurunnya peredaran produk cukai illegal.
Kajian KPK yang disampaikan Fredolin menyebutkan bahwa belum optimalnya penerimaan PNBP dan cukai sebenarnya berakar pada tiga masalah utama yakni belum komprehensifnya regulasi, masih buruknya mekanisme perhitungan pemungutan, dan belum terintegrasinya sistem pembayaran.
Secara lebih detail tidak komprehensifnya regulasi karena tidak ada roadmap yang komprehensif dan hal ini menyebabkan kehilangan potensi penerimaan. Selanjutnya buruknya mekanisme perhitungan pemungutan karena tidak berbasis potensi target dan realisasi sehingga produk ilegal belum bisa dikendalikan. Sedangkan belum terintegrasikannya pelaporan dan pembayaran karena masih terdapat pelaporan dan pembayaran manual dan belum terintegrasi di pusat.
Sementara itu Slamet Widodo mengakui bahwa PBNP dan cukai sebenarnya bukan penyumbang terbesar penerimaan negara. Penerimaan negara terbesar dan utama adalah pajak. Sedangkan berdasarkan catatan atas penerimaan PNBP realisasi tahun 2016 sampai 2020 dan proyeksi tahun 2021, kementerian penyumbang PNBP terbesar adalah berturut-turut Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perhubungan, Kepolisian Negara, Kementerian Hukum dna HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian ATR/ BPN.
Dari aspek sektor, maka sumbangan PNBP sumber daya alam dan PNBP lainnya masih menempati poisisi terbesar. Keduanya menyumbang sekitar 70 persen PNBP. Besarnya PNBP SDA ini dikarenakan harga komoditas dunia, terutama minyak dan batubara.
PNBP sebagaimana penerimaan perpajakan berdasarkan data tahun 2016 -2021 mengalami tren kenaikan, kecuali tahun 2020 karena pandemi. Bahkan dibanding perpajakan, PNBP tumbuh lebih tinggi pada tahun 2017 – 2018. Meskipun proporsinya rasio PNBP hanya sekitar 17-21 persen, sedangkan rasio penerimaan perpajakan sekitar 78 – 83 persen terhadap pendapatan negara.
Data ini menarik untuk dicermati sebagai acuan dalam meningkatkan penerimaan negara. Sehingga ini yang menjadi alasan penerimaan PNBP dan cukai menjadi prioritas strategi nasional pencegahan korupsi.
Sekretariat nasional pencegahan korupsi yang saat ini kebetulan berada di KPK selama ini telah melakukan asistensi kepada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Beberapa kebijakan yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu antara lain secara umum, adalah menyempurnakan tata Kelola PNBP termasuk sinergi pengawasan; mendorong peningkatan Iklim Investasi Sektor Hulu Migas dan dukungan harga gas untuk mendukung industri lebih kompetitif; meningkatkan pengelolaan aset lebih produktif dengan penerapan Highest and Best Use (HBU); optimalisasi penerimaan dari dividen BUMN dengan mempertimbangkan aspek kesinambungan dan mitigasi risiko dan efisiensi kinerja BUMN; meningkatkan kualitas layanan PNBP dan pemberian tarif sampai dengan Rp 0 atau 0 persen serta keringanan PNBP dalam kondisi tertentu; dan meningkatkan kinerja pelayanan BLU antara lain mengutamakan kualitas pelayanan yang affordable, available, dan sustainable.
Sedangkan Kebijakan optimalisasi cukai dalam APBN 2021 adalah perluasan basis pajak baru, melalui pengenaan barang kena cukai (BKC) baru seperti cukai produk plastik, penguatan joint program DJP-DJBCDJA, penguatan kerjasama dengan K/L, serta aparat penegak hukum (APH) untuk pengamanan penerimaan negara, penguatan proses pemeriksaan dan pengelolaan penerimaan, serta keberatan dan peningkatan kemenangan sengketa banding, dan pemberantasan dan penurunan peredaran BKC illegal.
Menurut Slamet Widodo, dalam upaya mengoptimalkan PNBP, pemerintah juga mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti kelestarian lingkungan, keberlangsungan dunia usaha, daya beli masyarakat, dan kualitas pelayanan.
Untuk mengakses materi silahkan klik di sini