Analisis: Merampas Aset Terindikasi Illicit Enrichment
Analisis: Merampas Aset Terindikasi Illicit Enrichment
Latar Belakang
Menurut United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), istilah illicit enrichment dijelaskan sebagai penambahan kekayaan pejabat publik secara signifikan yang mana pejabat publik tersebut tidak dapat menjelaskan secara wajar asal usul kekayaan tersebut berasal dari penghasilannya yang sah. Sesuai pasal 20 UNCAC, negara peserta konvensi ini diharapkan dapat memidana illicit enrichment dalam UU nasionalnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam salah satu rilis yang pernah disampaikan kepada media massa mengidentifikasi beberapa manfaat apabila Pemerintah Indonesia mengadopsi sepenuhnya pasal yang memidana illicit enrichment, yakni:
Pertama, penerapan mekanisme pembalikan beban pembuktian (reversal of the burden of proof) yang efektif dimana terdakwa kejahatan (korupsi) dituntut untuk dapat membuktikan asal usul kekayaan yang ia miliki.
Kedua, memperkuat fungsi pelaporan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) karena selama ini dipandang sekedar formalitas dan tidak ada mekanisme sanksi yang diberikan kepada penyelenggara negara yang tidak jujur melaporkan kekayaannya.
Ketiga, memberikan kemudahan pada aspek pembuktian hukum, terutama jika dibandingkan dengan mekanisme yang diatur dalam UU TPPU (UU No 8 tahun 2010) maupun UU Tipikor (UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001), khususnya yang mengatur pasal gratifikasi dan mekanisme pembalikan beban pembuktian.
Keempat, fokus pada upaya menindak motivasi orang melakukan korupsi, yakni pada aset atau kekayaan yang dimiliki.[1]
Dorongan untuk mengatur lebih jelas hal yang berkaitan dengan illicit enrichment kembali mengemuka, terutama setelah netizen berhasil mengungkap kekayaan fantastis yang dimiliki oleh salah satu mantan pejabat pajak bernama Rafael Alun Trisambodo (RAT). RAT dalam LHKPN terbarunya melaporkan Rp 56 miliar kekayaan. Namun kemudian terungkap adanya motor gede dan mobil Rubicon yang tidak masuk LHKPN, termasuk dana Rp 37 miliar yang tersimpan dalam deposit box. Hal ini juga belum termasuk Rp 500 miliar yang tersimpan dalam puluhan rekening dan telah dibekukan oleh PPATK.
Setelahnya, bertubi-tubi muncul informasi lain yang juga menyoroti mewahnya gaya hidup keluarga pejabat publik di Indonesia. Sebut saja misalnya Kepala Bea Cukai Yogjakarta (Eko Darmanto), Kepala Bea Cukai Makassar (Andhi Pramono), Kepala Kantor Pajak Madya Jakarta Timur (Wahono Saputro) dan termasuk Kepala BPN Jakarta Timur (Sudarman Harjasaputra).
Tentu saja, dari beberapa nama yang telah muncul dan ramai diperbincangkan masyarakat, masih banyak pejabat publik di tempat lain yang harta kekayaannya, baik yang dilaporkan dengan jujur, maupun yang diatas namakan kepada pihak lain, bernilai fantastis dan tidak sesuai dengan profil pendapatannya. Baik yang ada di pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun BUMN/BUMD.
Identifikasi Persoalan
Masalahnya, untuk menangani isu aktual yang sedang ramai diperbincangkan masyarakat, dimana pejabat publik memiliki kekayaan sangat jumbo dan terindikasi tidak sesuai dengan profil pendapatannya sebagai pejabat, kita tidak dapat menunggu aturan mengenai illicit enrichment diundangkan terlebih dahulu.
Pada saat yang sama, masyarakat sudah sangat kesal dan geram karena fenomena pamer kekayaan oleh pejabat publik dan keluarganya seperti tidak ada jeranya. Masyarakat berharap harta kekayaan pejabat publik yang fantastis itu bisa dirampas kembali untuk negara.
Dari sudut pandang legal formal, perdebatan masih berkutat pada perlunya pidana asal dibuktikan sebelum proses menyita dan merampas harta kekayaan pejabat publik yang jumlahnya jauh lebih besar dari profil pendapatannya. Pidana asal itu bisa dari korupsi, suap-menyuap, gratifikasi, narkoba, penyelundupan, perdagangan orang, dan lain sebagainya. Sayangnya, sampai detik ini, KPK sendiri belum dapat menemukan ada tidaknya tindak pidana korupsi, suap menyuap ataupun gratifikasi yang dilakukan oleh RAT.
Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh penegak hukum dan rezim anti pencucian uang? Apakah mungkin dengan berbekal ketentuan hukum yang ada, dapat dilakukan langkah perampasan aset, meskipun tidak harus membuktikan pidana asalnya?
Merampas Aset Terindikasi Illicit Enrichment: Tawaran Strategi
- Analisis Konstruksi Hukum
Sebenarnya, kerangka legal formal yang tersedia, khususnya UU TPPU No 8 Tahun 2010 dapat dirujuk untuk melakukan upaya perampasan aset yang terindikasi dari tindak pidana secara sah meskipun tanpa adanya permulaan penyidikan oleh penyidik maupun adanya vonis pidana kepada pelaku. Dalam pasal 64 ayat 1 UU TPPU disebutkan bahwa “PPATK melakukan pemeriksaan terhadap transaksi keuangan mencurigakan terkait dengan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain”.
Pasal ini menegaskan bahwa tanpa adanya permintaan dari penyidik, atau bahkan belum dimulainya penyidikan, PPATK dapat melakukan analisis atas rekening siapa saja yang teridentifikasi TPPU, atau tindak pidana lain, antara lain: narkoba, hasil perolehan investasi fiktif, fraud sektor perbankan dan sektor finansial lain, dan tindak pidana korupsi.
Perlu dicatat bahwa PPATK memiliki parameter tentang transaksi yang mencurigakan (lihat pasal 1 ayat 5 UU TPPU), dimana parameter ini harus diterapkan ke dalam sistem deteksi penyedia jasa keuangan (misalkan bank) karena adanya kewajiban pelaporan transaksi yang mencurigakan. Parameter tersebut harus dapat mendeteksi:
- Transaksi yang menyimpang dari profil, karakter, dan kebiasaan pola transaksi, dan transaksi keuangan oleh pengguna jasa keuangan yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan.
- Transaksi keuangan yang terindikasi untuk menghindari pelaporan.
- Transaksi yang terjadi atau batal dilakukan yang menggunakan aset (terindikasi) hasil tindak pidana.
- Transaksi yang diminta PPATK untuk dilaporkan.
Dengan demikian, merujuk penjelasan di atas, secara teknis, apabila ditemukan pejabat publik yang analisis transaksi keuangannya tidak sesuai dengan empat parameter diatas, PPATK dapat secara proaktif melakukan pemeriksaan sesuai dengan wewenang pasal 64 ayat 1 UU TPPU.
- Proses Pembekuan Transaksi
Menindaklanjuti dari analisis proaktif yang dilakukan oleh PPATK di atas, pada pasal 65 ayat 1 UU TPPU dijelaskan bahwa PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi (yang sudah teridentifikasi mencurigakan).
- Perampasan tanpa adanya Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Bagian terpenting dari wewenang PPATK untuk merampas aset terindikasi TPPU atau berasal dari tindak pidana tertentu terdapat dalam pasal 67 ayat 2 UU TPPU. Lantas, apakah mungkin PPATK dapat meminta pengadilan merampas aset dari pejabat tertentu yang terindikasi menyimpang dari profil pendapatannya? Jawabannya mungkin. Berikut langkah yang dapat ditempuh PPATK.
Pertama, PPATK dapat berkoordinasi dengan penyidik di lembaga penegak hukum untuk melakukan perampasan tanpa melalui proses penuntutan (tanpa P21). PPATK bersama penyidik dapat meminta pengadilan untuk merampas aset tersebut. Landasan aturannya ada pada pasal 67 ayat 2 UU TPPU yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.”
Dari berbagai penjelasan diatas, maka catatan penting yang dapat diurai oleh Satu Visi Utama adalah sebagai berikut:
- Aset terindikasi hasil tindak pidana, termasuk aset pejabat publik/penyelenggara negara yang tidak sesuai dengan pendapatan, diduga berasal dari tindak pidana, yang dilaporkan dalam LHKPN, dan tidak dapat dijelaskan secara logis, dapat diperiksa tanpa adanya permulaan tindak pidana melalui jalur pemeriksaan proaktif PPATK. Dalam praktiknya, pola ini dapat dimulai dari adanya pengaduan masyarakat (intelijen) atau menjadi perhatian publik luas karena sudah menjadi pemberitaan di media massa.
- Aset yang sudah diperiksa, dapat segera disita, tanpa adanya permintaan dari penyidik, melainkan permintaan PPATK.
- Melalui penyidik, aset yang disita tersebut dapat dimintakan kepada pengadilan untuk diputus dan dirampas bagi negara. Di sini, terdapat celah hukum yang telah disediakan oleh pasal 67 ayat 1 dan ayat 2 UU TPPU:
- Pertama, pengadilan akan memberikan waktu 20 hari untuk menunggu ada tidaknya para pihak yang ingin melakukan klaim atas aset tersebut. Apabila ada, maka pihak tersebut dapat diminta oleh pengadilan untuk membuktikan asal-usul perolehan aset tersebut.
- Kedua, apabila tidak ada pihak yang melakukan klaim atas aset tersebut, dan dalam kurun waktu 30 hari pelaku tindak pidana tidak ditemukan, penyidik dapat meminta pengadilan untuk merampas aset tersebut.***
[1] https://antikorupsi.org/id/article/miskinkan-koruptor-lewat-aturan-illicit-enrichment