ChatGPT, Plagiarisme, dan Budaya Koruptif
ChatGPT, Plagiarisme, dan Budaya Koruptif
Plagiarisme, menyontek, dan praktik curang lainnya merupakan penyakit kronis yang bersifat sistemik dalam pendidikan kita. Meski pada dasarnya ini merupakan persoalan serius, akan tetapi menyontek dan plagiarisme tidak menjadi sumber kerisauan di lembaga-lembaga pendidikan kita. Hanya sebagian kecil sekolah dan kampus menyikapi masalah ini dengan serius, secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran pada murid atau mahasiswanya untuk tidak menyontek atau melakukan plagiarisme, serta memberikan sanksi tegas pada para pelakunya.
Kebiasaan buruk praktik menyontok dan menjiplak bukan hal baru. ChatGPT dengan kemampuannya untuk menurunkan jawaban dan memproduksi tulisan yang semakin canggih sesuai perintah pemaikainya hanya dalam hitungan detik tidak pelak lagi, bila tidak dimitigasi dengan baik, akan melahirkan ledakan praktik jiplak-menjiplak baik di lingkugan sekolah, perguruan tinggi, maupun di kalangan lulusannya.
Keprihatinan terhadap merebaknya praktik plagiarisme dengan bantuan ChatGPT dikemukakan baru-baru ini oleh Moeldoko di akhir masa jabatannya sebagai kepala staf kepresidenan.
Sebagaimana diberitakan, Moeldoko mendapati banyak plagiarisme dalam tulisan esai yang para pelamar Sekolah Staf Presiden yang dilakukan dengan menggunakan kecerdasan buatan ChatGPT. Tingkat plagiasi yang dilakukan peserta, kata Moeldoko, mencapai antara 50 hingga 80 persen. Moeldoko meningatkan agar generasi muda jangan menjadi generasi copy paste. “Karena ini akan membahayakan masa depan bangsa,” kata Moeldoko.
Meluasnya praktik plagiarme, menyontek, dan perbuatan curang untuk mengejar nilai pada dasarnya pararel dengan situasi kemasyarakatan dan kenegaraan kita yang masih diselubungi persoalan korupsi. Dalam masyarakat yang koruptif, toleran terhadap korupsi, praktik-praktik koruptif akan cenderung diterima sebagai kewajaran. Budaya koruptif itu akan berimbas merasuki dunia pendidikan.
Kita dapat dengan jelas, pendidikan di negara-negara maju dengan tingkat korupsinya yang rendah cenderung tidak berkompromi dengan praktik plagiarisme atau menyontek. Peringatan-peringatan anti plagiarisme dan anti menyontek beserta sanksinya dapat dilihat dengan jelas oleh siapa saja. Sejumlah institusi pendidikan kita yang terpercaya telah menekankan budaya integritas, plagarisme dan menyontek tidak dibenarkan, sanksi tegas diterapkan.
Sebelum ada ChatGPT, praktik plagiarisme dan menyontek pada dasarnya sudah menjadi penyakit kronis di dunia pendidikan kita. Sebelum ada google atau wikipedia, praktik curang dan menjiplak sudah merebak di sekolah atau kampus. Skripsi-skripsi mahasiswa yang dinilai bagus dan dipajang di perpustakaan dirobek di sana-sini untuk dijiplak. Jasa menuliskan skripsi dan karya tulis juga sudah ada, bahkan yang dilakukan terang-terangan.
Ketika muncul google dan wikipedia, praktik plagiarisme semakin menjadi keseharian. Padahal, sudah seharusnya, di perguruan tinggi khususnya, hanya sumber-sumber terpercaya dan telah diverifikasi yang bisa dipergunakan. Dalam sistem persekolahan kita yang bersifat massal, guru atau dosen tidak sempat lagi memeriksa dan memberikan umpan balik dengan cermat esai atau karya tulis yang dibuat murid atau mahasiswanya.
Kekhawatiran akan meluasnya plagiarisme akibat kehadiran ChatGPT sebenarnya dihadapi juga kalangan pendidikan di negara-negara maju yang ketat dalam perkara integritas akademik. Karena itu sudah seharusnya ChatGPT menjadi perhatian khusus bagi pendidikan yang selama ini sudah dihinggapi penyakit kronis plagiarisme dan menyontek.
Meskipun di sana-sini masih kita temukan cacat, ketidakakuratan, dan kesalahan-kesalahan lainnya, saat ini ChatGPT sudah dapat menghasilkan jawaban-jawaban, bahkan tulisan, yang bagus. Tulisan yang dihasilkan ChatGPT secara umum melebihi tulisan rata-rata mahasiswa atau lulusan perguran tinggi kita. Akan tetapi, pada dasarnya kecerdasan artifisial tetaplah bersifat buatan.
ChatGPT tidak bisa berpikir sendiri karena itu ia hanya mereproduksi pengetahuan yang sudah ada. Ia melahirkan jawaban atau tulisan berdasarkan alogaritma, berdasarkan masukan mega data yang bertebaran di dunia maya. Alhasil ChatGPT bisa menghasilkan jawaban yang tidak akurat bahkan sama sekali salah. Sejauh ini ChatGPT juga belum bisa memverifikasi kredibiltas sumber yang dipergunakan. ChatGPT akan menyajikan pengetahuan dominan, memperkuat status quo. Pengenalan seperti ini akan sangat mudah apabila murid atau mahasiswa sudah terbiasa kritis terhadap teks. Kritisisme terhadap teks bisa diperoleh melalui pengenalan literasi kritis.
Jadi sudah seharusnya kita lebih fokus dalam memerangi plagiarisme dan kebiasaan menyontek, bukan memerangi ChatGPT itu sendiri. Ini hanya bisa terjadi apabila kita membiasakan pada anak-anak kita, usia dini untuk berani mengemukakan pendapatnya sendiri.
Pada tingkatan selanjutnya, adalah kewajiban kita para orangtua dan guru untuk terus-menerus menanamkan kebiasaan pada anak-anak agar tidak menelan mentah-mentah informasi atau pendapat orang begitu saja, berpikir kritis, membiasakan mereka melontarkan dan menguji pendapat berdasarkan bukti-bukti, berpikir orisional, serta berani menyatakan kebenaran dan berpikir berbeda. Hanya dengan berpikir merdeka kemajuan dicapai.
Plagiarisme dan kebiasaan menyontek tidak hanya membahayakan eksistensi sekolah atau perguruan tinggi tetapi juga membahayakan masa depan kita. Pertama-tama, karena plagiarisme dan menyontek akan menginternalisasi perilaku koruptif yang pada gilirannya akan melanggengkan korupsi di negara kita. Lebih jauh lagi, plagiarisme dan menyontek akan menghalangi kemampuan kita melahirkan gagasan-gasan baru yang cerdas, mematikan daya kreasi dan inovasi, dan menghambat kemajuan kita.
Integritas, daya nalar, kemampuan berpikir kritis perlu ditumbuh-suburkan di dunia pendidikan kita. Akan tetapi tantangan yang lebih besar lagi adalah bagaimana kita melawan plagiarisme dan kebiasaan menyontek bersamaan pararel dengan kemauan kita untuk menumbuhkan budaya integritas dan melawan korupsi yang masih menjadi peroalan utama di negara kita. Tanpa ini upaya kita hanya akan setengah-setengah.
Bambang Wisudo
Senior Expert Visi Integritas