Ilmu Pendidikan di Indonesia Sudah Lama Mati Bisakah Kita Hidupkan kembali?
Ilmu Pendidikan di Indonesia Sudah Lama Mati Bisakah Kita Hidupkan kembali?
Wawancara Ilmu Pendidikan di Indonesia Sudah Lama Mati! Bisakah Kita Hidupkan kembali?
By Visi Educare
Bambang Wisudo (W):
Halo selamat datang di kanal pendidikan Visi Educare. Educare berasal dari kata education(pendididikan) dan care (mendidik), educare berarti peduli pada pendidikan. Kata “educare” bisa juga dibaca dalam bahasa Latin berarti mendidik. Jadi kanal Visi Educare ini memang ditujukan dan diperuntukkan bagi teman-teman yang bergerak atau bergelut dengan dunia persekolahan, mempelajari Ilmu Pendidikan, mereka yang sedang belajar prodi pendidikan, maupun kawan-kawan yang berminat dalam kajian dan studi pendidikan.
Kali ini kita akan berbincang-bincang tentang topik yang sangat penting, yang menjadi jantungnya pendidikan. Sayangnya topik ini sudah cenderung menghilang dari wacana, bahkan dari praksis pendidikan, yaitu tentang pedagogi dan pedagogik. Apa itu perbedaan pedagogik (dengan huruf k) dan pedagogi? Nanti kita akan bahas kemudian.
Dalam kesempatan ini kita akan berbincang-bincang dengan dua tokoh pendidikan yang sudah tidak asing bagi kita, yaitu Bapak Jimmy Paat dan Bapak Lody Paat. Dua sarjana dan aktivis pendidikan ini pernah mengajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dulu IKIP Jakarta. Pak Jimmy mengajar di Prodi Pendidikan Bahasa Perancis, sedangkan Pak Lody mengajar di Prodi Pendidikan Khusus (Luar Biasa). Pak Jimmy dan Pak Lody sama-sama mempunyai minat di bidang Ilmu Pendidikan, lebih spesifik lagi dalam Studi Pendidikan Kritis.
W: Selamat datang. Pak Jimmy. Akhir-akhir ini apa kesibukannya?
Jimmy Paat (J): Saya sudah pensiun dari UNJ sebagai pengajar. Seperti tadi sudah dikatakan, saya dulu mengajar di Prodi Pendidikan Bahasa Perancis. Tetapi sampai sekarang saya masih tetap aktif dalam kegiatan pendidikan. Boleh saya sebut, antara lain dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Sekolah Tanpa Batas yang dipimpin Mas Bambang sendiri. Juga beberapa kali teman-teman masih mengajak saya untuk melihat beberapa sekolah yang mereka sebut intervensi. Kira-kira Itu yang sedang saya lakukan.
W: Halo Pak Lody. Pak Lody bergabung dengan kita dari Tomohon. Apa kabar, Pak Lody?
Lody Paat (L): Baik, baik-baik. Baik sekali, Mas Bambang dan teman-teman di Visi Integritas …
W: Pak Lody sampai sekarang masih giat mencermati perkembangan Ilmu Pendidikan meskipun ia sekarang tinggal di kota kecil di Tomohon, Sulawesi Utara.
Pak Jimmy dan Pak Lody, kalau saya buka arsip, buka kliping berita-berita, kalau tidak salah pada bulan Februari 1983 pernah ada satu berita pendidikan yang sangat menarik, yaitu tentang matinya Ilmu Pendidikan. Kebetulan Pak Lody dan Pak Jimmy, kalau tidak salah, merupakan mahasiswa di balik layar yang menyelenggarakan kegiatan ini.
Mungkin Pak Jimmy bisa flashback. Sebenarnya apa sih yang didiskusikan pada waktu itu, kok lalu muncul pernyataan bahwa Ilmu Pendidikan sudah mati. Apa yang dimaksud dengan Ilmu Pendidikan sudah mati mungkin.
J: Mungkin lebih baik Lody yang pertama menjawab karena Lody yang melakukan. Saat itu sebenarnya saya sudah tidak mahasiswa. Tahun 1983 saya sudah melanjutkan studi di Perancis. Mungkin Lody yang bisa langsung jawab pertanyaan Mas Bambang.
W: OK. Pak Lody mungkin bisa flashback menceritakan tentang kegiatan itu? Dan apa yang sebenarnya dimaksud dengan Ilmu Pendidikan sudah mati? Ini kan sudah sekitar 40 tahun lalu …
L: Terima kasih, Mas, sudah mencoba mengangkat kembali peristiwa yang menurut saya bersejarah dalam Ilmu Pendidikan. Ketika itu kami masih mahasiswa di UNJ, saya mahasiswa tua karena tidak tamat-tamat. Kami punya berbagai kajian dengan adanya kelompok kecil yang memang, kalau diungkapkan sekarang, agak gelisah terhadap apa yang kita pelajari di IKIP Jakarta, khususnya apa yang kita sebut Ilmu Pendidikan. Apa perbedaan Ilmu Pendidikan dalam perbedaannya dengan Psikologi Pendidikan, kami ingin membedakan itu karena memang kami mempelajari Psikologi Pendidikan.
Pada 1980 atau 1981-an, ada pengangkatan profesor, pengukuhan guru besar Muhammad Said. Ia mencoba mengungkapkan bahwa Ilmu pendidikan di IKIP Jakarta saat itu pada situasi antara hidup tidak, mati juga tidak. Ada ungkapannya dalam Bahasa Indonesianya, seperti kerakap mati di batu. Dalam bahasa premannya di Jakarta, mati segan hidup ogah. Jadi pada tahun 1981 sebenarnya isu keberadaan ilmu pendidikan sudah dibicarakan. Kemudian kami buat panel diskusi. Pada saat itu panelisnya Pak Muhammad Said, Pembantu Rektor I Dr Siswoyo, Bekas Rektor I di era Pak Winarno yaitu Pak Abdul Latif. Moderatornya Pak Setiadi, mantan Litbang Dikbud dan saat itu PD II Pasca Sarjana Ikip Jakarta. Yang menyelenggarakan Forum Diskusi Mahasiswa IKIP Jakarta. Topiknya eksistensi Ilmu Pendidikan. Isinya apa, saya lupa ….
Pada 1983 kami muncul lagi. Pada saat itu kami berdiskusi dengan pembimbing kami di Forum Diskusi Mahasiswa IKIP Jakarta, yaitu almarhum Bapak Yos Daniel Parera. Itu dosen bahasa Indonesia. Dia yang mengusulkan topiknya “Teori dan praktik pendidikan”. Kami undang para pembicaranya orang-orang top pada waktu itu, yaitu Pak Riberu, Pak Hamdan Mansyur, Pak Hidajat Nataatmadja dan Pak Tilaar, dimoderatori Pak Sardja. Pada saat itu Pak Tilaar mengatakan, Imu Pendidikan mati. Wah itu menarik ya. Menarik sekali sebenarnya itu ungkapannya.
Diskusi panel itu dilaporkan oleh Kompas. Ada dokumennya. Kita beruntung Kompas mengangkat acara itu. Tapi kelihatannya di kampus tidak ada gaungnya. Ya sudah, seperti itu saja selesai. Memang ada beberapa diskusi di Kompas, tapi ya begitu saja.
W: Apakah yang dimaksud sudah mati Ilmu Pendidikan Langeveld atau Ilmu Pendidikan secara umum?
L: Saya pikir. Kami merenungkannya kembali – kami mencoba mengangkatnya kembali dalam Forum Diskusi Pedagogik Alumni UNJ yang dipimpin almarhum Abdullah Taruna mulai tahun 2000-an, sebelum pandemi Covid, kami mengangkat kembali topik tersebut.
Nah, kalau ditanya kemudian, Ilmu Pendidikan yang seperti apa yang mati? Setelah kami renungkan, sebenarnya yang mati itu Ilmu Pendidikan yang disebut pedagogik, pakai huruf “k’ seperti yang disebutkan tadi. Kalau Ilmu Pendidikannya sendiri, orang selalu bilang, masih hidup karena Ilmu Pendidikan tidak satu, kita bisa diskusikan itu. Tapi kalau pada 1983 Pak Tilaar mengatakan Ilmu Pendidikan mati, itu sebenarnya pedagogik.
W: Mungkin Pak Jimmy bisa menjelaskan lagi, perbedaan antara pedagogi dan pedagogik (dengan huruf k)?
J: Saya merujuk ke Pak Tilaar karena kami sering berdiskusi dengan almarhum. Sebenarnya yang disebut pedagogi adalah tindakan mendidik tindakan mendidik dengan menggunakan pedagogik (pakai huruf k). Jadi pedagogi adalah tindakan mendidik dengan menggunakan Ilmu Pendidikan atau pedagogik. Pedagogik ya Ilmu Pendidikan. Sederhananya seperti itu.
Saya mau mencoba menyambung yang dikatakan Lody. Sebenarnya yang dibicarakan pada 1983 yang dikatakan mati ya pedagogik. Jadi yang dimaksud Pak Tilaar, Ilmu Pendidikan sudah mati ya pedagogik itu. Seingat saya, saya baca arsip-arsip itu, ada komentar-komentar di Kompas tapi tidak merespon apa yang dikatakan Pak Tilaar. Yang dikatakan Pak Tilaar pedagogik mati adalah pedagogik kontinental. Kemudian pada 2014, Pak Tilaar mencoba menawarkan apa yang dia sebut sebagai Pedagogik Teoritis untuk Indonesia. Nah, sebenarnya Pak Tilaar tidak berhenti hanya menyatakan Ilmu Pendidikan sudah mati tetapi gelisah, selama 30 tahun lebih, sehingga Pak Tilaar pada 2014 melahirkan buku Pedagogik Teoritis Indonesia. Jadi Pak Tilaar mencoba menghidupkan kembali pedagogik (pakai huruf k).
W: Itu kan tahun 1983. Sudah 40 tahun lebih. Itu bulan Februari 1983, sekarang September 2022, jadi sudah lebih 40 tahun lalu. Kalau status Ilmu Pendidikan di Indonesia sekarang seperti apa? Apakah memang sudah mati benar-benar, setengah mampus, tidak berkembang, dipinggirkan, atau bagaimana?
J: Agak keras kalau dibilang Ilmu Pendidikan sudah mati walau Pak Tilaar mungkin ada alasannya ya. Mungkin kita bisa melihat dari yang paling sederhana. Pada tahun 1980-an, ketika Pak Tilaar mengatakan itu, mata kuliah yang menggunakan kata “pedagogik” –paling tidak di IKIP Jakarta tempat Pak Tilaar mengajar– boleh dikatakan tidak ada lagi. Mereka menggunakan kata Pengantar Pendidikan. Sejauh yang saya amati, selama saya masih mahasiswa IKIP Jakarta maupun selama mengajar di UNJ, sejak 1980-an, mata kuliah yang menggunakan kata “pedagogik” sudah diganti dengan Pengantar Pendidikan, Landasan Pendidikan, atau yang lainnya. Kata pedagogik sejak 1980-an sudah tidak ada.
Saya pikir ini penting untuk diperhatikan. Mungkin kita bisa lihat lebih jauh apa sebenarnya isi mata kuliah yang tidak lagi memakai nama Pedagogik itu apa bedanya. Tapi bisa diasumsikan pedagogik sudah tidak ada. Walau, paling tidak di UPI, masih ada jurusan, departemen, atau prodi pedagogik sampai sekarang. Kita bisa lebih jauh melihat ke sana. Asumsi saya di UPI pedagogik masih ada. Karena itu saya pikir Pak Tilaar mencoba menjawab, memberikan pengantar pedagogik untuk Indonesia. Dan juga ada pensiunan dosen UPI yang juga menggunakan pedagogik, pengantar Ilmu Pendidikan yang berbau kontenental. Jadi, yang memang hilang sebenarnya pedagogik kontinental. Yang secara historis pernah hidup sejak adanya Fakultas Pedagogik, dan kursus-kursus setingkat B1 dan B2 dan lainnya yang merujuk pada pedagogik. Tapi lama-lama hilang. Dalam pedagogik Indonesia, Pak Tilaar menyebut adanya Langeveldianisme – tokoh atau ahli pedagogik besar dari Belanda. Sampai 1950 dikuasai itu. Walaupun saya bisa katakan sampai 1970-an buku-bukunya masih dirujuk.
W: Kalau kita membicarakan pendidikan, ini kan menyangkut hal yang sangat vital. Benar-benar merupakan kepentingan orang banyak. Jumlah muridnya puluhan juta, gurunya lebih dari tiga juta, jumlah sekolahnya puluhan ribu. Tapi kalau boleh dikatakan Ilmu Pendidikan setengah mampus. Masalah bisa enggak sih, kita membicarakan pendidikan atau kita mengajar tanpa Ilmu Pendidikan, atau lebih spesifik lagi tanpa mempelajari pedagogik kontinental? Silakan Pak Lody ….
L: Saya coba kasih konteks dulu, gambaran tentang ilmu pendidikan agar jelas begitu. Saya pikir, kalau kita mengatakan Ilmu Pendidkan mati, banyak orang LPTK tidak suka, tidak senang. Tapi tadi saya sudah memperjelas bahwa sebenarnya yang kita interpretasikan yang mati, atau yang dikatakan Pak Muhammad Said seperti kerakap tumbuh di Batu, jadi hidup dalam kemelaratan, itu sebenarnya pedagogik.
Apakah ada yang lain? Ada. Ada Ilmu Pendidikan yang inter dan multidisipliner, yang Anglo-Amerika atau Anglo-Saxon, yang berbahasa Inggris dan Ilmu Pendidikan yang otonom yang disebut pedagogik kontinental. Kalau lihat dari konstruksi itu pedagogik itu bukan hanya megap-megap tetapi hilang. Kata pedagogi (tidak pakai k) ada, bahkan ada yang dikatakan pedagogical content knowledge. Tapi pedagogik sebagai ilmu otonom sudah hilang di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah Ilmu Pendidikan Anglo-Saxon hidup? Itu juga bisa dipertanyakan. Karena kalau kita lihat di LPTK-LPTK, khususnya landasan atau dasar-dasar untuk calon-calon guru lebih kuat ke arah psikologi. Ilmu Pendidikan Anglo Saxon yang hidup, yang sangat kuat, adalah Psikologi Pendidikan. Kalau dikatakan ada Ilmu Pendidikan di Indonesia, ya … tapi Psikologi Pendidikan. Kalau dikatakan Ilmu Pendidikan yang interdisipliner buat saya belum hidup di Indonesia.
Bagaimana kalau guru-guru tidak memiliki pengetahuan tentang pedagogik? Menurut saya, itu problem besar karena dalam pedagogik kata kuncinya adalah di relasi. Kalau kemudian para guru tidak mempunyai pengetahuan atau konsep yang jelas tentang relasi, khususnya relasi guru dan murid maka pendidikan bisa amburadul. Peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan di sekolah, itu akibat para pendidik tidak menguasai konsep relasi. Ini bahayanya bila guru tidak mengenal pedagogik kontinental. Kalau tidak menguasai pedagogik interdisipliner, guru akan membahas pendidikan dari satu aspek saja. Ini problematik juga. Misalnya, kalau guru-guru melihat murid-muridnya malas atau dianggap tidak berprestasi, kita akan menganggap mereka tidak punya motivasi. Tidak pernah lihat dari kacamata lain. Kalau tidak ada pedagogik interdisipliner dan pedagogik kontinental, ya kita lihat peristiwa-peristiwa sekarang. Kalau pemerintah mengatakan sudah baik, ya boleh-boleh saja. Hak mereka untuk mengatakan itu. Tetapi kami bisa mengatakan, kami bisa keliru, ditambah sebagai mahasiswa, sekitar 20-40 tahun, kami betul-betul merasakan Ilmu Pendidikan baik yang multidisipliner Anglo-Saxon ataupun yang kontinental kurang kuat. Akibatnya seperti itu, yang kita baca di media massa.
W: Pak Jimmy, kalau kita mengikuti di media massa atau media sosial, dalam topik-topik diskusi pendidikan yang seksi tidak muncul perspektif Ilmu Pendidikan baik yang Anglo Saxon ataupun Kontinental? Lebih banyak didominasi dari sudut pandang kebijakan, politik, ekonomi, mungkin psikologi, sosiologi bukan ilmu pendidikan. Benar atau tidak?
J: Kalau saya bertanya kepada bekas mahasiswa atau guru-guru, “Bapak ibu katanya selain mengajar, mendidik di sekolah. Pertanyaannya, Ilmu Pendidikan apa yang dipakai?” Biasanya mereka tidak bisa menjawab. Mereka bisa menjawab kalau langsung merujuk pada pedagogi. Ini memang tidak sederhana karena tidak diajarkan di LPTK. Guru-guru kita dalam sisi konstruksi pendidikan Anglo-Amerika maupun kontinental tidak mempelajari dengan baik. Kalaupun dipelajari dengan baik, hanya psikologi pendidikan. Sosiologi pendidikan, sejarah pendidikan, ekonomi pendidikan relatif tidak dipelajari atau bukan menjadi pengetahuan dasar para guru.
W: Kalaupun menguasai psikologi pendidikan, itu pun didominasi yang behavioristik seperti Pavlov, Skinner, dan sebagainya?
J: Betul, lebih pada behavioristik, seperti stimulus-respon. Psikologi perkembangan seperti Piaget, Vygotsky, dan lainnya relatif tidak dikenal. Sebenarnya dengan sangat menyesal, keluaran LPTK miskin dari dua kontruksi Ilmu Pendidikan itu. Akibatnya bisa kita lihat. Mungkin orang bilang, orang mengenal kompetensi pedagogi. Itu relatif berhubungan dengan bagaimana mengajar, mengelola kelas, evaluasi dan lain sebagainya tetapi tidak membahas tidak membahas situasi pendidikan sebagai subyek dari pedagogik. Relasi pedagogik relatif tidak muncul. Lebih jauh tulisan-tulisan yang menjelaskan kompetensi pedagogik, di google kita bisa lihat, tidak ada rujukan pedagogik. Rujukannya orang-orang Amerika. Dari referensi sudah kita kelihatan.
W: Padahal di UU Guru jelas disebut empat kompetensi yang harus dikuasai guru, salah satunya kompetensi pedagogik (pakai huruf k) bukan pedagogi …
J: Benar. Saya pikir kita mesti hidupkan kembali dan teman-teman guru perlu menyadari kekurangan mereka dari sisi pedagogik sebagai ilmu karena di kampus, referensi pedagogik dalam kuliah-kuliah tidak kelihatan. Ada yang menggunakan Langeveld, tapi pembahasnya terbatas. Ada mahasiswa yang mencoba membahas di YouTube, tapi tulisan-tulisan yang membahas Langeveld tidak banyak.
W: Dalam salah satu tulisan Ki Hadjar Dewantara, Ki Hadjar membedakan antara pedagogi instingtif dan pedagogi ilmiah. Kalau kita mengukur kemampuan guru-guru kita, kompetensi pedagogiknya dalam posisi di mana. Sudah memadai atau masih sangat rendah.
J: Kalau merujuk pada Ki Hadjar Dewantara, mungkin guru-guru hanya merujuk pada pedagogi insting.
W: Pak Lody sepakat?
L: Menarik Mas Bambang mengungkit atau merujuk pada Ki Hadjar Dewantara. Itu tulisan tahun 1936, Ki Hadjar mencoba membuat kategori: ada pedagogi insting atau pedagogi intuisi, pedagogi pengalaman, dan pedagogi berdasarkan teori atau ilmu pengetahuan atau kalau sekarang pedagogi ilmiah. Lalu, guru-guru mengajar pakai yang mana?
Tapi perlu saya garibawahi dulu, kata pedagogi yang ditulis Ki Hadjar tidak pakai “k”. Clearitu buat saya. Itu tindakan mendidik. Kalau mengikuti Ki Hadjar Dewantara adalah tindakan menuntun, bukan mengajar. Bagaimana guru-guru sekarang? Agak keras kalau dikatakan guru-guru menggunakan pedagogik insting. Kalau mereka sekarang mereka mendidik, mereka lebih banyak menggunakan pedagogi berdasarkan pengalaman, dengan pengalaman mereka dulu diajar, melihat guru-guru mereka dari TK sampai perguruan tinggi mengajar. Tetapi kalau pedagogi ilmiah saya pikir mereka kurang gunakan karena tidak diajarkan. Akibatnya kita lihat peristiwa-peristiwa yang ada. Kita belum ada penelitian sejauh mana kekeliruan mendidik yang dilakukan guru maupun orangtua. Tetapi akibat tidak adaya pedagogi yang ilmiah, kebanyakannya pedagogi yang instingtif dan pengalaman, jadi tidak sempurna.
W: Pak Lody dan Pak Jimmy, saat saya jadi wartawan sampai akhir 1990an atau awal 2000-an, saya masih bisa menemukan banyak ahli yang menguasai Ilmu Pendidikan, baik yang kontinental maupun Anglo-Saxon. Banyak yang bergulat dalam Ilmu Pendidkan. Ki Hadjar sendiri juga mengembangkan pedagogi dan Ilmu Pendidikan. Pertanyaannya, bagaimana cara menghidupkan pedagogik baik yang Anglo-Saxon ataupun yang kontinental?
J: Kalau kita mau menghidupkan kembali, atau kalau kita menggunakan istilah PaK Willy Toisuta, mantan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana, beliau menggunakan istilah “menemukan kembali”. Kalau Pak Tilaar bilang sudah mati, Pak Buchori meresponnya sebagai lonceng kematian, Pak Willy menggunakan kata “menemukan kembali. Untuk menemukan kembali cara yang paling ampuh, dari LPTK dan perlu mengakui kalaupun masih ada masih banyak kekurangannya.
W: Di Indonesia, ada tidak Pusat Kajian Pedagogik?
J: Sejauh yang saya ketahui tidak ada. Itu bisa dibuat di dalam atau di luar kampus, terdiri dari para sarjana yang punya perhatian atau para guru. Itu bisa dilakukan dengan mendiskusikan kembali, melakukan penelitian-penelitian.
W: Kalau seorang guru atau seorang aktivis pendidikan ingin mempelajari Ilmu Pendidikan, ada tidak cara sederhana untuk memulai. Mana buku yang harus dibaca dulu? Mana buku-buku untuk menjadi awalan?
J: Ada beberapa buku pengantar. Ada dari UPI, saya lupa namanya. Ada buku Pak Tilaar, Pedagogik Teoritis untuk Indonesia. Pak Tilaar merujuk KI Hadjar Dewantara, kaitannya dengan berhamba pada anak. Ada banyak dalam bahasa Jerman, Inggris. Mungkin dalam bahasa Inggris banyak. Gert Biesta salah satu yang mempromiskan pedagogik kontinental di dunia berbahasa Inggris. Biesta sarjana dari Belanda tapi mengajarnya di negara berbahasa Inggris, Banyak tokoh-tokoh lain berada dalam kelompok Biesta, misalnya norvirsen. Tulisan-tulisannya merujuk ke Jerman dan tulisan-tulisan pedagogik yang hidup di Perancis. Dalam bahasa Perancis ada Jean Housave dengan bukunya Le Triangle Pedagogique. Sayang masih dalam bahasa asing (Perancis). Norm Friesen kalau mau baca.
W: Pak Lody, kalau merujuk ke tokoh di Indonesia. Kita bisa tidak memulai mempelajari kembali pedagogi dan pedagogik dengan membaca tulisan-tulisan di buku KI Hadjar Dewantara?
L: Tapi dari buku Ki Hadjar, kita tidak bisa melihat adanya dua konstruksi Ilmu Pendidikan.
W: Jadi kalau kita mau mempelajari Ilmu Pendidikan perlu mengenal dulu adanya dua konstruksi Ilmu Pendidikan. Mungkin dalam kesempatan berikutnya akan kita bahas lebih detail. Karena waktunya sudah habis, bisa kita simpulkan bahwa kita tidak bisa meninggalkan Ilmu Pendidikan kalau kita mengajar, berurusan dengan sekolah, atau berbicara pendidikan dalam talk show dan lain-lainya,
Kalau dikatakan Ilmu Pendidikan mati atau ada lonceng kematian Ilmu Pendidikan, sekarang setelah 40 tahun saatnya kita bisa hidupkan kembali Ilmu Pendidikan . Harapannya ini direspon pemerintah dan LPTK. Tapi teman-teman yang bergerak dan berminat di bidang pendidikan, khususnya guru dan pengajar, bisa mulai menggairahkan minat dan gairah menghidupkan kembali Ilmu Pendidikan. (wis)
Wawancara ini dapat disaksikan dengan kanal youtube SatuVisi Utama