Memperkuat Inspektorat Daerah

Inspektorat mestinya bisa menjadi solusi untuk membendung praktik korupsi daerah yang terus berulang. Tapi posisi yang tidak independen membelenggu geraknya dalam melakukan pengawasan. Pemerintah harus berani dan serius memperkuat kedudukan inspektorat setidaknya bisa setara dengan sekretaris daerah (sekda).
Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono menambah panjang nama kepala daerah yang terjerat korupsi. Puput bersama suaminya, Hasan Aminuddin mantan bupati sekaligus anggota DPR terjaring operasi tangkap tangan karena diduga terlibat jual beli jabatan. Sedangkan Budhi disangka menerima fee berbagai proyek infrastruktur di wilayahnya.
Walau sudah ratusan yang menjadi pesakitan, tapi masih banyak gubernur, bupati, dan wali kota yang tetap nekat menyalahgunakan kewenangan. Bahkan ada beberapa tempat yang kepala daerahnya ‘hattrick’ tersandung korupsi, seperti Provinsi Riau, Kabupaten Subang, hingga Kota Cimahi dan Medan.
Paling tidak ada empat faktor yang mendorong kepala daerah melakukan praktik korupsi. Pertama, hukuman yang tidak menakutkan. Vonis kepala daerah pelaku korupsi masih rendah, rata-rata hanya 6 tahun 4 bulan. Ditambah minimnya sanksi sosial. Beberapa kepala daerah yang selesai masa hukuman justru disambut dengan gegap gempita.
Kedua, balas jasa kepada para pendukung atau sponsor. Kerap dikaitkan dengan mahalnya biaya politik sehingga kepala daerah tersandera pemodal. Imbal balik dukungan berupa pemberian secara ilegal proyek anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) atau perizinan investasi. Bahkan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 90 persen kepala daerah korupsi karena utang kepada pemodal.
Ketiga, memperkaya diri dan memperluas kekuasaan. Semangat untuk memastikan agar kekuasaan bisa terus digenggam, dilanjutkan anggota keluarga, atau diperluas juga turut melatarbelakangi korupsi oleh kepala daerah. Cara yang paling umum dengan menjadikan APBD sebagai modal pemenangan dan peningkatan popularitas.
Keempat, lemahnya pengawasan. Mudahnya para pejabat dan pegawai daerah melakukan kecurangan antara lain disebabkan belum berfungsinya pengawasan internal. Titik-titik rawan korupsi tidak teridentifikasi dan diantisipasi. Padahal sekuat apa pun rencana penyelenggara daerah untuk korupsi akan sulit direalisasikan apabila tidak ada kesempatan karena pengawasan yang ketat.
Karena itu, penguatan lembaga pengawas internal khususnya inspektorat bisa menjadi solusi agar praktik korupsi di daerah tidak terus berulang. Inspektorat merupakan unsur pengawas pemerintahan daerah yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekda. Memiliki banyak fungsi seperti koordinasi pencegahan korupsi, pengawasan internal kinerja dan keuangan, hingga pengawasan pelaksanaan program reformasi birokrasi.
Tapi sayang inspektorat seperti tenggelam, kinerjanya nyaris tak terdengar. Padahal dengan banyak bekal kewenangan, mestinya mereka tidak sulit untuk mendeteksi dan memitigasi berbagai penyalahgunaan kebijakan dan anggaran yang terus berulang. Praktik korupsi di daerah pun tidak akan marak seperti sekarang.
Ada dua persoalan pokok yang membuat inspektorat belum bisa diandalkan untuk membendung korupsi daerah. Pertama, independensi. Posisi inspektorat berada di bawah sekda. Sudah pasti akan banyak hambatan ketika membongkar berbagai praktik kecurangan. Tidak hanya oleh pejabat, tapi juga birokrasi. Sebab sebagian besar kasus korupsi dilakukan secara terstruktur. Dimotori pejabat daerah, dieksekusi birokrasi.
Karena posisinya yang tidak independen membuat para pegawai di lingkungan pemerintah pun takut melapor ketika menemukan masalah atau potensi korupsi. Sebab kerahasiaan mereka tidak terjamin. Ada potensi tindak balas dendam dari pihak yang dilaporkan. Bisa juga ragu laporannya akan ditindaklanjuti, terutama jika menyangkut pejabat. Padahal karakteristik korupsi adalah rahasia, sehingga berbagai kecurangan lebih mungkin terdeteksi oleh orang seperti pegawai daerah.
Kedua, kompetensi. Para pelaku korupsi, termasuk di daerah, selalu memperbaiki cara agar tidak bisa terdeteksi. Sebisa mungkin menghilangkan jejak agar praktik tercelanya tidak terungkap seperti menggunakan transaksi tunai. Cara-cara seperti ini yang belum mampu dipetakan, diawasi, dan diantisipasi oleh inspektorat.
Itu sebabnya peningkatan kompetensi inspektorat juga menjadi kebutuhan mendesak. Tidak hanya terkait dengan teknik pengawasan, tapi juga memberikan masukan dan konsultasi kepada pimpinan maupun satuan kerja perangkat daerah (SKPD) agar memahami risiko korupsi. Termasuk memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Reposisi Inspektorat
Pemerintah memang sudah memberi tambahan kewenangan kepada inspektorat. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, inspektorat bisa melakukan pengawasan berindikasi kerugian daerah tanpa harus menunggu persetujuan kepala daerah dan pola pelaporan disampaikan secara berjenjang.
Walau positif, tapi langkah tersebut belum cukup memadai. Sebab tidak mengubah posisi, inspektorat masih tetap di bawah kendali sekda. Pemerintah hanya memberi senjata, tapi tidak melepas belenggu. Akibatnya, inspektorat belum bisa banyak bergerak.
Pemerintah patut mempertimbangkan usulan dari beberapa lembaga seperti KPK agar posisi inspektorat bisa sejajar dengan sekda. Memang butuh revisi aturan, tapi dengan posisi yang lebih independen ditambah peningkatan kompetensi akan membuat inspektorat lebih leluasa dalam menjalankan tugas dan fungsi dalam mencegah korupsi. Tambahan kewenangan dari pemerintah pun bisa dijalankan dengan optimal.
Modal komitmen sudah ada. Setidaknya dalam strategi nasional pencegahan korupsi (Stranas PK) 2021-2022, penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), termasuk di dalamnya inspektorat daerah masuk dalam rencana aksi prioritas. Empat aspek yang akan dipenuhi yaitu, independensi secara kelembagaan, pemenuhan kuantitas dan kompetensi sumber daya manusia, pemenuhan anggaran untuk operasional pengawasan.
Tinggal menunggu keseriusan pemerintah untuk menjalankan komitmennya. Inspektorat yang independen, profesional, berintegritas, dan kompeten bisa diandalkan untuk membendung praktik korupsi daerah yang terus berulang dan membangun pemerintahan yang bersih. Dengan demikian, harapan untuk segera mewujudkan kemaslahatan masyarakat bisa segera terealisasi.
Ade Irawan Direktur Visi Integritas, pengasuh Akademi Antikorupsi
Sumber: detikNews, Rabu, 06 Oktober 2021
Baca artikel detiknews, “Memperkuat Inspektorat Daerah” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-5755388/memperkuat-inspektorat-daerah.
Related Articles
Mendesaknya Perbaikan Tata Kelola Perjalanan Haji
Disebut Proyek Kejar Tayang, RUU Sisdiknas Diminta Dihentikan
Artikel Terbaru

Ilmu Pendidikan di Indonesia Sudah Lama Mati Bisakah Kita Hidupkan kembali?
September 20, 2023

Pentingnya Penerapan WBS Sesuai Standar ISO 37002
September 19, 2023

Etika, Hukum, dan Rapuhnya Keadaban Publik
September 11, 2023

Mencegah Korupsi Politik
Agustus 29, 2023
