Menilai Risiko Korupsi
Menilai Risiko Korupsi
“Wakil Menteri II BUMN, Kartika Wirjoatmodjo menyebutkan bahwa Kementerian BUMN sedang melakukan investigasi atas laporan keuangan PT Waskita Karya. Pasalnya, diduga kuat PT Waskita Karya melaporkan keuangannya yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.”
Banyak pemimpin organisasi belum menyadari bahwa berbagai aturan internal dan praktek kerja organisasi di lapangan membuka peluang besar bagi praktek penyimpangan, korupsi dan berbagai jenis pelanggaran hukum lainnya. Dampaknya, organisasi akan mengalami pelemahan karena digerogoti dari dalam, sehingga kurang kompetitif, tidak produktif dan tidak efisien. Apalagi perilaku fraud biasanya menyasar sumber daya finansial, baik uang ataupun aset untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Oleh karena itu, para pengambil kebijakan dalam organisasi tidak bisa tinggal diam atau memberikan ruang bagi praktek korupsi dan penyimpangan untuk terus terjadi. Salah satu cara mendiagnosa apakah organisasi kita telah memiliki sistem antikorupsi yang kokoh adalah dengan melakukan Corruption Risk Assessment(CRA). Sebagai sebuah metode, CRA tidak dimaksudkan untuk mencari kesalahan-kesalahan individu dan mendorong tindakan hukum tertentu bagi pelakunya.
CRA dimaksudkan untuk memeriksa, menganalisis, dan mengidentifikasi kemungkinan kelemahan yang menimbulkan korupsi, baik karena faktor kebijakan, peraturan, maupun prosedur yang diterapkan, dan memberikan rekomendasi yang solid bagi organisasi untuk diadopsi. CRA bertujuan memperkuat sistem antikorupsi organisasi. Ruang lingkup CRA ada pada analisis kebijakan dan tinjauan implementasinya untuk disandingkan dengan standar-standar ideal sistem antikorupsi yang perlu diterapkan oleh organisasi.
Selain sangat membantu organisasi, CRA tidak menimbulkan risiko konflik di internal organisasi apabila fokus penyelidikan ada pada perilaku individu. Bahwa akan ada pengingkaran, penolakan, dan perlawanan dalam mendorong perbaikan sistem antikorupsinya, itu biasanya terjadi pada fase awal saja. Jika kepemimpinan organisasi memiliki kualitas dan memiliki legitimasi yang kuat, fase krisis ini bisa dilalui dengan cukup mudah dan tidak menimbulkan ‘biaya’ serius.
CRA pada dasarnya dapat diterapkan dalam organisasi manapun, apakah itu sektor bisnis, pemerintahan maupun organisasi masyarakat sipil. Hal ini berangkat dari asumsi dasar, bahwa korupsi atau penyimpangan akan selalu hidup dalam ekosistem yang kotor. Siapapun yang dalam posisi memiliki otoritas, wewenang, atau tanggung jawab untuk menggunakan sumber daya finansial dan aset organisasi, selalu memiliki potensi untuk melakukan penyimpangan dan korupsi. Dengan sistem antikorupsi yang kuat, potensi menyimpang itu bisa dikelola dan ditekan dengan lebih baik.***
Adnan Topan Husodo
Wakil Direktur Visi Integritas