Meningkatkan Integritas Organisasi melalui Whistle Blowing System
Meningkatkan Integritas Organisasi melalui Whistle Blowing System

Husein Ali Rafsanjani, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) muda Pemkab Pangandaran mengaku diintimidasi karena melaporkan dugaan pungutan liar dalam Latihan Dasar (Latsar) CPNS. Laporan ia tujukan ke situs lapor.go.id. Kasus ini kemudian menyita perhatian publik setelah video Husein viral di media sosial.
Pilihan sikap Husein melaporkan pungli patut diapresiasi. Sebab tidak banyak ASN yang berani mengungkap dan melaporkan praktik korupsi. Sebagian memilih diam, menganggap sebagai praktik yang wajar, bahkan ada yang berkompromi dan menjadi bagian dari pelaku korupsi.
Sayangnya, keberanian Husein tidak didukung oleh mekanisme pelaporan pengaduan Whistle Blowing System(WBS) yang memadai dalam hal ini lapor.go.id. Tereksposnya pelapor menjadi preseden buruk. Alih-alih ada tindak lanjut laporan, para pelaku diberi sanksi, dan celah masalah diperbaiki. Justru yang terjadi sebaliknya, laporan diduga jatuh ke tangan terlapor. Pada akhirnya, pelapor yang ‘diselesaikan’ bukan laporannya. Padahal perlindungan pelapor (protection) merupakan satu dari tiga prinsip utama WBS selain kepercayaan (trust), ketidak berpihakan (impartiality).
WBS merupakan sistem yang penting bagi organisasi mana pun. WBS merupakan pelaporan dugaan tindakan yang dapat menyebabkan kerugian atau risiko tindakan/kelalaian yang mungkin muncul (ISO 37002). Tujuannya adalah agar ada tindakan perbaikan. Mekanisme ini telah digunakan oleh banyak negara di dunia guna membangun integritas dan tata kelola organisasi.
Setidaknya ada tujuh manfaat bagi organisasi yang sungguh-sungguh menerapkan WBS. Pertama, bisa mendeteksi secara dini kecurangan/kesalahan/korupsi. Kedua, adanya WBS membuat pegawai atau pimpinan di organisasi berpikir dua kali untuk melakukan kecurangan/korupsi sebab potensi untuk terbongkar dan dikenai sanksi cukup besar. Ketiga, maturitas organisasi. Tidak ada sistem seefektif WBS untuk mendorong pegawai melaporkan kecurangan/pelanggaran/korupsi.
Keempat, bagian dari penguatan tata kelola lembaga. Kelima, mencegah kerugian yang lebih besar (material, hukum, dan citra) lembaga. Sebab, Ketika ada kanal untuk membuat laporan, pegawai atau pemangku kepentingan tidak akan membawa temuan mereka langsung ke penegak hukum. Keenam, memulihkan asset yang hilang. Ketujuh, meningkatkan kepercayaan pemangku kepentigan kepada organisasi.
Di Indonesia, keberadaan WBS telah diperkenalkan lebih dari satu dekade. Banyak organisasi yang secara formal menerapkan. Tapi sedikit yang serius. Alasannya, WBS bisa membuka aib organisasi dan pengurus, menjadi senjata makan tuan bagi yang menerapkan, atau memicu ketidakharmonisan. Akibatnya banyak yang memosisikan WBS hanya sekedar pelengkap organisasi.
Padahal WBS bukan ancaman, justru instrumen penting penting dalam membangun organisasi. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian banyak lembaga (PricewaterhouseCoopers, Association of Certified Fraud Examiners, Ethics Resource Center) menyimpulan bahwa WBS merupakan mekanisme yang paling efektif untuk mengungkap praktik kecurangan (fraud). Adanya deteksi awal kecurang, mambuat organsasi mampu memitigasi kerugian yang lebih besar.
Agar bisa efektif, WBS mesti dikenal oleh pegawai dan pengaku kepentingan. Semua orang di organisasi mengetahui tata cara untuk membuat laporan apabila menemukan praktik kecurangan. Ada banyak sarana yang memudahkan pelapor untuk melapor (multi-doors seperti surat, email, wa, telp), jaminan keamanan, kerahasiaan, dan tidak ada tindakan balas dendam bagi pelapor, serta ada tindaklanjut laporan. Selain itu, mekanisme WBS dievaluasi dan ditingkatkan secara berkala. Hal paling penting lainnya adalah komitmen dan dukungan pimpinan organisasi.
Terakhir, merujuk riset Peter Goldman (2009), pada dasarnya 80 persen anggota organisasi adalah orang yang memiliki karakter dan integritas kuat yang tahan tekanan untuk tidak jujur. Husein Ali Rafsanjani mewakili gambaran mereka. Adanya mekanisme pelaporan (WBS) yang memadai membantu mereka dalam menjaga organisasinya dengan melaporkan praktik kecurangan dan korupsi yang berpotensi menghancurkan organisasi.
Ade Irawan
Direktur Utama Visi Integritas
Related Articles
Artikel Terbaru

Sistem Antipenyuapan di Pemerintah Daerah
September 27, 2023

Ilmu Pendidikan di Indonesia Sudah Lama Mati Bisakah Kita Hidupkan kembali?
September 20, 2023

Pentingnya Penerapan WBS Sesuai Standar ISO 37002
September 19, 2023
