Perlu Political Will Presiden untuk Menaikkan IPK
Sudah diketahui bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2020 mengalami penurunan 3 poin dari 40 pada tahun 2019 ke 37 pada tahun 2020, dan berada di posisi 102 di tahun 2020 ini dari 180 negara yang disurvei, padahal pada tahun 2019 ada di posisi 85.
Visi Integritas mengadakan webinar untuk membahasnya pada tanggal 11 Februari 2021 dengan tema Meningkatkan Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Menghadirkan narasumber Profesor Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarief Hidayatullah), Enny Sri Hartati (Ekonom Senior INDEF), Adnan Topan Husodo (Koordinator ICW) dan dimoderatori Sely Martini (Espert Visi Integritas).
Indeks persepsi korupsi merupakan sebuah upaya pemeringkatan korupsi di masing-masing negara, masing-masing provinsi atau masing-masing institusi di suatu negara. IPK bersumber dari banyak data. Sumber data yang skornya turun ialah PRS International County Risk Guide, IMD World Competitiveness Yearbook, Global Insight Country Risk Ratings, PERC Asia Risk Guide, dan Varieties of Democracy Project.
Sementara itu, ada tiga sumber data yang skornya stagnan yakni World Economic Forum EOS, Bertelsmann Foundation Transform Index, dan Economist Intelligence Unit Coutry Ratings; serta satu sumber data yang skornya meningkat yaitu World Justice Project-Rule of Law Index. Penurunan terbesar yang dikontribusikan oleh Global Insight dan PRS dipicu oleh relasi korupsi yang masih lazim dilakukan oleh pebisnis kepada pemberi layanan publik untuk mempermudah proses berusaha. Hal ini sangat beralasan karena survei IPK ini sangat dekat dengan aktivitas bisnis.
Sebenarnya fenomena ini merupakan paradoks, sekaligus menjadi pengingat kepada pemerintah terkait kebijakan dalam pemulihan ekonomi. Saat ini pemerintah sangat getol dengan investasi dari luar negeri. Namun seperti mengabaikan peringatan ini sehingga hampir seluruh kebijakan yang diambil malah bertolak belakang dengan semangat antikorupsi yang sebenarnya bisa berujung naiknya skor IPK. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sehingga sangat wajar kalau skor IPK Indonesia turun drastis.
Sangat berat upaya untuk menaikkan IPK ini. Professor Azyumardi menyebut kebijakan yang diklaim sebagai antikorupsi itu sejatinya justru bertenangan dengan semangat antikorupsi. Misalnya revisi UU KPK yang diklaim pemerintah memperkuat KPK nyatanya kini setelah setahun berlalu sudah kelihatan kalau KPK justru diperlemah. Pembuatan Undang-undang cipta kerja yang diklaim juga sebagai upaya untuk mencegah korupsi pada kenyataannya tidak terbukti.
Adnan Topan Husodo mengatakan, saat ini di sebagian besar kelompok masyarakat telah terjadi kehilangan harapan kepada pemerintah saat publik antusias ikut pemilu tahun 2014 dan 2019, karena harapan yang begitu besar terhadap kandidat pemimpin yang tidak terkait dengan transaksi politik saat itu, ternyata tidak sesuai harapan itu. Menurut Enny, kebijakan pemerintah saat ini justru menciptakan kelompok oligarki yang justru menghambat pemberantasan korupsi.
Profesor Asyumardi menyarankan 5 (lima) hal yang harus dilakukan agar skor IPK Indonesia kembali naik.
Pertama, pemerintah sebagai pimpinan puncak harus memperteguh kemauan politik (political will), ketegasan, konsistensinya dalam pemberantasan korupsi. Karena saat ini yang terjadi hanya basa-basi, gimmick dan sekedar lip-service. Menurut Adnan, meski juru bicara presiden mengatakan pemerintah tetap antikorupsi meski IPK turun, namun sikap antikorupsinya secara konkret tidak jelas.
Kemudian kedua, perlu reformasi politik. Tidak adanya political will pemerintah saat ini karena ada persekongkolan politik, baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif atau bahkan di partai politik. Oleh karena itu menurut Azyumardi, reformasi politik itu sangat diperlukan. Reformasi ini juga menyangkut reformasi kelembagaan politik. Bahkan juga termasuk reformasi birokrasi.
Ketiga, pemerintah harus memulihkan KPK dan lembaga penegak hukum dan lembaga peradilan lain, seperti kepolisian, kejaksaan, atau peradilan. Keempat, pemerintah harus memulihkan regulasi. Misalnya UU KPK yang telah direvisi ini harus diupayakan untuk dikembalikan lagi ke sebelum adanya revisi. Kelima, pemerintah juga harus membangun budaya antikorupsi. Misalnya dengan membuat seluruh kegiatan transaksi diubah dari cash ke digital.
Sementara itu Adnan melihat bahwa paket kebijakan ekonomi saat ini gagal mendorong perbaikan governance. Kemudian agenda pada Stranas Pencegahan Korupsi yang diterbitkan tahun 2018, khususnya terkait perijinan dan tata niaga tidak berpengaruh sama sekali. Kebijakan anti-korupsi mengalami kemunduran, seperti revisi UU KPK, praktek konflik kepentingan seperti presiden yang mendorong anaknya menjadi walikota saat ia masih aktif menjabat presiden dan diangkatnya 400-an jabatan komisaris BUMN dirangkap. Selanjutnya kebijakan legislasi sangat kontroversial misalnya UU omnibus law, dan UU minerba. Juga terjadi regresi demokrasi (misalnya menguatnya kelompok oligarkhi, kebijakan publik tanpa partisipasi, munculnya korupsi sektor pemilu, ancaman kebebasan sipil, ancaman kebebasan pers.
Untuk itu sebagai upaya meningkatkan skor IPK, Adnan mengusulkan beberapa hal diantaranya; membalik perspektif: anti-korupsi mengabdi ke kepentingan ekonomi kepada kebijakan ekonomi berbasis framework anti-korupsi. Membalik kebijakan: MK membatalkan UU KPK baru. Menyusun kebijakan mendasar anti-korupsi: UU Pemberantasan Tipikor, UU Perampasan Aset, UU Pembatasan Transaksi Tunai. Melakukan evaluasi menyeluruh scenario dan implementasi Stranas PK. Kembali ke strategi trisula pemberantasan korupsi: Penindakan, Pencegahan dan Pendidikan. Memperkuat partisipasi warga dalam pengawasan social. Memperkuat peran pers untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Menerapkan kembali prinsip-prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang baik: implementasi pengaturan konflik kepentingan.
Menurut Enny, saat ini kalau pemerintah masih ingin fokus menarik investasi dari luar, maka satu-satunya yang dibutuhkan adalah Strong leadership dari presiden dalam mengelola pemerintahan yang berpihak kepada semangat antikorupsi dan anti suap.