BUMN Berintegritas
UU No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara tegas menyebutkan bahwa BUMN memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Sayangnya, akibat praktik korupsi di BUMN telah menyebabkan kesejahteraan masyarakat menjadi sulit terwujud. Fenomena korupsi yang terjadi pada sejumlah BUMN di Indonesia beberapa tahun terakhir mulai memprihatinkan. Hingga Maret 2019, sedikitnya sudah ada 58 kasus korupsi di BUMN yang telah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Korupsi di BUMN
Berdasarkan pemetaan Indonesia Corruption Watch (ICW) praktik korupsi di BUMN umumnya adalah penyuapan, gratifikasi, dan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara. Mayoritas korupsi di BUMN terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN. Nilai kerugian negara akibat korupsi di BUMN terbilang sangat fantastis. Pada 2018, ICW mencatat kerugian negara hanya dari 19 kasus korupsi di BUMN bahkan mencapai Rp 3,1 triliun.
Pelaku korupsi di BUMN tidak saja pada level pegawai, tetapi juga melibatkan jajaran manajemen termasuk direktur utama (dirut). Petinggi BUMN yang baru saja menyandang status tersangka korupsi Dirut Perusahaan Listrik Negara Sofyan Basir. KPK pada 23 April 2019 telah menetapkan Sofyan sebagai tersangka kasus korupsi dalam kerja sama proyek pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi. Sebelum Sofyan, dirut BUMN yang telah menyandang status tersangka korupsi, antara lain Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, Dirut PT Pelindo II RJ Lino, Dirut PT PAL Indonesia Firmansyah Arifin, dan Dirut PT Asuransi Jasindo Budi Tjahjono.
Pelaku yang dijerat tidak saja individu, KPK pada 2018 bahkan telah menetapkan sebuah BUMN, yaitu PT Nindya Karya, sebagai tersangka korporasi. PT Nindya Karya terjerat kasus dugaan korupsi proyek pembangunan di Sabang Aceh Tahun Anggaran 2006-2011 yang merugikan keuangan negara hingga Rp 313 miliar. Persoalan korupsi di BUMN sesungguhnya disadari betul oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN. Sejumlah kebijakan ataupun program pernah diluncurkan untuk mencegah korupsi di lingkungan BUMN.
Pada 2011, Menteri BUMN mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor Per-01/MBU/2011 tentang penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) pada BUMN. Berdasarkan peraturan tersebut, semua BUMN diwajibkan menjalankan usahanya sesuai prinsip keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi dan kesetaraan. Sayangnya, aturan ini terkesan sebatas imbauan tanpa adanya sanksi yang jelas bagi BUMN yang tidak mau melaksanakan.
Lalu, pada 2013, Dahlan Iskan saat menjabat sebagai Menteri BUMN pernah meluncurkan program peta jalan (roadmap) ”BUMN Bersih”. Terakhir pada tahun 2015 Kementerian BUMN pada era Rini Soemarno bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi meluncurkan program ”zona integritas bebas dari korupsi” yang diharapkan dapat diterapkan di 141 BUMN berikut anak perusahaannya. Demi mencegah korupsi di BUMN, kementerian ini juga telah melibatkan KPK yang telah memiliki program ”BUMN Berintegritas” dan ”Profesional Berintegritas”.
Lemahnya pengawasan
Meski kementerian dan KPK sudah melahirkan banyak program pencegahan korupsi, faktanya praktik korupsi di BUMN masih terjadi silih berganti. Salah satu penyebab masih munculnya korupsi di BUMN karena tidak berjalannya sistem pengawasan atau pengendalian internal di BUMN itu sendiri. Padahal, keberadaan pengendalian internal ini penting agar pimpinan BUMN tidak membuat kebijakan atau keputusan yang melanggar hukum ataupun mengarah pada tindakan korupsi.
Tidak berjalannya fungsi pengawasan internal juga akibat banyaknya posisi pengawas di BUMN khususnya komisaris yang rangkap jabatan instansi lain atau tidak berasal dari kalangan profesional. Sudah jadi rahasia umum bahwa pemilihan komisaris BUMN saat ini masih diwarnai kepentingan politik dan sering kali mengabaikan kompetensi terkait bidang usaha dari BUMN yang akan ditempati.
Pada sisi lain komitmen antikorupsi ataupun integritas pada level pimpinan atau direksi BUMN juga banyak bermasalah. Demi memperkaya diri atau mempertahankan jabatan, tak sedikit pejabat atau direksi di BUMN yang nekat melakukan praktik korupsi. Dengan ditempati oleh direksi yang bermasalah secara integritas maka inisiatif program antikorupsi bahkan pakta integritas yang ditandatangani oleh BUMN seringkali menjadi sia-sia atau hanya sekadar seremonial belaka.
Kasus korupsi yang menimpa sejumlah BUMN sudah seharusnya jadi momentum untuk melakukan sejumlah langkah perbaikan yang sistematis dan sekaligus mendorong kembali terwujudnya BUMN berintegritas.
Pertama, Kementerian BUMN perlu melakukan pembenahan secara menyeluruh dan memperkuat satuan pengawas internal di seluruh BUMN. Proses rekrutmen pejabat termasuk komisaris BUMN sebaiknya dilakukan secara ketat dengan lebih mengutamakan pada syarat profesional dan integritas.
Kedua, program BUMN berintegritas yang dirancang oleh KPK sebaiknya diadopsi oleh seluruh BUMN sebagai bagian dalam upaya pencegahan korupsi. Agar program antikorupsi dapat berjalan secara optimal, harus ada monitoring dan evaluasi secara berkala baik dari KPK, internal BUMN maupun Kementerian BUMN.
Ketiga, menteri BUMN sebaiknya melakukan revisi terhadap Peraturan Menteri Nomor Per-01/MBU/2011. Peraturan Menteri BUMN yang baru nantinya perlu mewajibkan setiap BUMN untuk menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 37001 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan. Agar efektif harus ada sanksi yang keras bahkan pencopotan kepada jajaran direksi BUMN yang tidak menerapkan aturan tersebut.
Emerson Yuntho Pegiat Antikorupsi; Wakil Direktur Visi Integritas
Sumber: Kompas, 10 Juni 2019