book now






Skandal Korupsi Pajak: Pelemahan Sistem Antikorupsi Indonesia





Korupsi beberapa pejabat pajak dan bea cukai yang mencuat kembali menimbulkan pertanyaan besar atas klaim suksesnya reformasi birokrasi yang dilakukan di bawah komando Sri Mulyani, Menteri Keuangan. Publik Indonesia merasa bahwa Kemenkeu telah diberikan keistimewaan dengan kebijakan penggajian dan renumerasi yang paling besar yang diperoleh oleh para pegawai Kemenkeu, dibandingkan pegawai pemerintah lainnya. Namun tampaknya, meningkatkan kesejahteraan pegawai Kemenkeu tidak menjawab persoalan korupsi struktural yang telah mengakar di birokrasi, bahkan sejak Orde Baru. 


Pendapat ini tidak untuk mengatakan bahwa reformasi birokrasi di Kemenkeu mengalami kegagalan. Bahwa menaikkan reformasi Kemenkeu memberikan pengaruh bagi peningkatan persepsi antikorupsi yang lebih baik di antara para pegawai kecil, namun usaha ini sepertinya tidak mampu mendorong perubahan attitude di pejabat menengah atas. Kemewahan yang mereka tampilkan di sosial media hanyalah petunjuk dari adanya potensi penyimpangan kekuasaan yang tidak dapat dikendalikan.


Praktek konflik kepentingan, membantu perusahaan mendapatkan keringanan pajak secara ilegal, memanipulasi dokumen perpajakan, menyembunyikan aset dari sumber illegal atas nama orang lain, menggunakan perusahaan atas nama orang lain untuk mengakumulasi aset  yang diduga hasil korupsi, dan mencuci uang dalam berbagai skema sebagaimana yang ditunjukkan dari kasus Rafael Alun Trisambodo, pejabat pajak Kemenkeu, memberikan gambaran lemahnya sistem pengendalian di Kemenkeu. Apalagi, praktek culas Rafael sudah berjalan bertahun-tahun. 


Lemahnya sistem kontrol di internal Kemenkeu diakui sendiri dalam diskusi informal yang penulis lakukan dengan beberapa tim pengawas internal Kemenkeu. Mereka memberikan testimoni jika mekanisme pengawasan internal Kemenkeu lebih efektif berjalan untuk para pegawai rendahan. Namun sulit dilakukan untuk para pejabat menengah atas. Hal ini juga dikonfirmasi oleh pengakuan Sri Mulyani sendiri bahwa kualifikasi para staff pengawasan internal Kemenkeu sebagiannya masih berpendidikan diploma, bahkan bukan sarjana. Bagaimana mungkin mereka dapat diandalkan untuk melakukan pemeriksaan dan mendeteksi berbagai potensi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan dengan cara-cara modern, kompleks dan terorganisir. 


Apalagi dengan kultur organisasi birokrasi yang memberikan ruang besar bagi langgengnya relasi senior dan yunior, tentu sulit untuk mendorong agar para pegawai muda di Kemenkeu memberikan laporan atas praktek penyimpangan yang dilakukan oleh atasannya. Meskipun sudah ada sistem perlindungan untuk para peniup peluit, namun tidak ada data yang valid bahwa laporan-laporan itu -jika ada- telah ditindaklanjuti dan diproses dengan serius dan profesional.


Relasi Politik dan Korupsi Legal


Pada sisi yang lain, relasi politik yang terbangun di antara para pejabat menengah atas Kemenkeu dengan berbagai pihak, termasuk politisi, pejabat eksekutif dan pengusaha telah memberikan perlindungan yang kuat dari deteksi dini yang dilakukan oleh sistem. Selain itu, ada semacam pertukaran kepentingan antara satu dengan yang lain, yang salah satu contohnya dapat dikaji dari kebijakan tax amnesty. Tax Amnesty sebagai keputusan politik eksekutif merupakan penyimpangan dari skenario besar Kemenkeu untuk mengefektifkan penegakan hukum bagi para pengemplang pajak besar. 


Selain gagal mendongkrar jumlah orang Indonesia untuk melaporkan dan membawa kembali uang yang mereka telah tanamkan di negara lain, tidak banyak yang tahu jika kebijakan ini mengaborsi rencana Kemenkeu untuk melancarkan operasi besar dalam rangka mengejar para pengemplang pajak. Tax amnesty dapat dianggap sebagai legalisasi atas praktek kejahatan finansial dan ekonomi, termasuk korupsi di masa lalu, karena dengan melaporkan dan membawa dana mereka kembali ke Indonesia, mereka dijamin oleh Pemerintah tidak akan diproses secara hukum. 


Reformasi yang digembar-gemborkan oleh Kemenkeu memang sedikit banyak telah meningkatkan target penerimaan negara dari pajak dan bea cukai. Namun, potensi hilangnya pajak negara dari berbagai kebijakan koruptif yang dipromosikan oleh Pemerintah juga tidak kalah besarnya. Kebijakan tersebut banyak terkait dengan pemberian insentif pajak kepada para pengusaha, terutama di sektor tambang dan batubara. 


Demikian pula industri otomotif yang menjadi primadona pemerintah, kerap mendapatkan keringanan pajak, baik dalam masa pandemi COVID-19 maupun sesudahnya. Kebijakan untuk mengalihkan mobil berbahan bakar bensin dengan listrik juga tidak luput dari gelontoran insentif pajak. Padahal Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, terkenal dengan polusi udara dan kemacetan sepanjang hari yang parah. Alih-alih mendesain kebijakan yang pro terhadap penggunaan transportasi publik, pemerintah lebih gemar membangun jalan tol dan menebar keringanan pajak kepada industri otomotif. 


Tentu pertanyaan berikutnya yang muncul, siapa yang pada akhirnya menikmati keuntungan ekonomi dari berbagai kebijakan tersebut? Dengan mudah kita dapat tunjuk aktor-aktor politik di pemerintahan yang saat ini berkuasa, yang juga merupakan pengusaha. Selain itu, mereka yang berlatar belakang pengusaha  kakap, atau mereka yang memiliki partai politik juga mendapatkan akses besar untuk ikut campur dalam berbagai proyek strategis pemerintah. 


Dengan demikian, kasus Rafael dan beberapa pejabat Kemenkeu lain hanyalah persoalan kecil yang viral karena eksistensi sosial media. Mungkin KPK masih memiliki kemampuan untuk menangani perkara korupsi jenis ini. Akan tetapi, di ekosistem pemerintahan yang lebih besar, sedang berlangsung pertukaran kepentingan dan relasi politik-bisnis yang semakin mesra, tanpa ada rambu-rambu yang jelas, atas nama kepentingan ekonomi nasional. Bangkitnya kembar siam politik dan bisnis di Indonesia tentu tidak dapat dilepaskan dari melemahnya sistem antikorupsi, yang dimulai dari revisi UU KPK. Hari ini, KPK tentu tidak akan mampu mengusut praktek perselingkuhan politik dan bisnis, karena praktek itu semakin nyata dan dianggap normal.