Ini Prioritas Agar Efektif Mengendalikan Korupsi
Siapa pun, baik pelaku bisnis, masyarakat bahkan pemerintah sendiri selaku penyelenggara negara tidak ingin tindak pidana korupsi terjadi dalam proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan di instansi pemerintah.
Dari berbagai alasan salah satunya adalah bahwa pengadaan barang jasa pemerintah adalah terkait penggunaan uang atau sumber daya publik, sehingga perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya agar bermanfaat dengan baik bagi publik.
Karena alasan itulah, Visi Integritas pada Rabu, 28 Oktober 2020 menyelenggarakan webinar dengan tema Mencegah korupsi dan konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Meski hari libur, tak kurang 118 orang peserta antusias mengikuti pemaparan dan diskusi dengan tiga narasumber. Tidak tanggung-tanggung juga narasumber yang hadir juga ahli dan praktisi di bidang ini. Mereka adalah Leonardus Joko Eko Nugroho, CFE, associate Visi Integritas, Ikak Gayuh Patriastomo, Deputi Kepala LKPP bidang hukum dan penyelesaian sanggah, Siti Juliantari Rahman, peneliti Indonesia Cortuption Watch. Bertindak sebagai moderator adalah Sely Martini, Associate Visi Integritas.
Sementara para peserta berasal dari berbagai unsur. Ada yang merupakan warga biasa, ada yang berprofesi sebagai guru, ada juga peserta yang merupakan staf unit pengadaan barang jasa di daerah dan juga inspektorat daerah.
Leonardus Eko Nugroho, yang diberi giliran paling awal sangat tepat memberikan pemahaman dasar tentang konsep korupsi.
Menurut Leo, selama ini jarang orang memahami apa sebenarnya korupsi itu. Yang diwacanakan selama ini adalah perbuatan korupsi, bukan apa arti korupsi, seperti yang tercantum di dalam UU No 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi yang menyebut tindak pidana korupsi adalah apabila perbuatan itu memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu Leo mencoba merujuk arti korupsi di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Termasuk menampilkan arti kata modus dan pola, sekedar untuk lebih memahami bagaimana korupsi bekerja dalam entitas pengadaan barang dan jasa.
Kenyataannya ada perbedaan arti istilah korupsi yang dipakai di Indonesia dan di luar Indonesia. Konsekuensinya berimbas kepada bagaimana kemudian otoritas rejim pemberantasan korupsi melakukan aksinya.
Menurut Leo yang kebetulan pemegang sertifikat CFE (Certified Fraud Examiner) menyebutkan bahwa pengertian korupsi dalam tataran global adalah bentuk kecurangan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Sementara dalam konteks Indonesia kecurangan adalah salah satu bentuk di antara 20-an jenis tindak pidana korupsi. Maka tidak heran jika di Indonesia penyalahgunaan dana bantuan sosial, kemudian penyalahgunaan dana APBD bahkan penyalahgunaan ijin tambang seperti pada kasus korupsi yang dilakukan gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam juga diproses sebagai tindak pidana korupsi.
Bila banyak orang untuk melihat kasus korupsi menggunakan survei persepsi korupsi oleh Transpancy International atau tren penindakan kasus korupsi dan tren vonis yang dibuat oleh ICW, Leo menggunakan survei yang dilakukan oleh Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) yang merupakan asosiasi tempat Leo terafiliasi secara keahlian yang disebut sebagai Report to The Nations (RTTN).
Survei global ACFE ini mengelompokkan kecurangan menjadi 3 kelompok besar yaitu korupsi, penyalahgunaan asset dan kecurangan laporan keuangan. Menurut survei ini modus korupsi secara global adalah konflik kepentingan (yang dimulai dari sejak identifikasi kebutuhan dan penyusunan anggaran) suap (berupa kick back dan pengaturan tender), gratifikasi dan pemerasan.
Hal yang menarik dari survei ini adalah bahwa kasus kecurangan paling banyak terungkap dari audit eksternal atas laporan keuangan. Sementara temuan survei yang dilakukan oleh asosiasi pemegang sertifikat CFE Imdonesia, menyebutkan pengungkapan terjadinya fraud karena laporan atau pengaduan dari publik.
Mengacu kepada hasil survei yang dilakukan oleh asosiasi pemegang sertifikat CFE Indoneaia ini maka Leo menyarankan untuk prioritas pengendalian korupsi dengan cara membuka saluran pengaduan, pengawasan oleh internal audit, melibatkan auditor eksternal, baru pengamanatan dan monitoring. Selanjutnya juga menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Melanjutkan apa yang disampaikan oleh Leo, Ikak Gayuh menambahkan bahwa agar proses pengadaan bisa mrncapai tujuan yang efisien efektif dalam hal waktu, tempat, jumlah, harga dan kualitas, maka penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa harus dilakukan betul-betul dengan niat baik.
Karena korupsi ditengarai sudah dimulai dari penyusunan anggaran dan perencanaan kebutuhan maka pengawasan tak bisa dilakukan hanya pada proses pengadaannya saja yang kadang terlihat baik-baik saja.
Visi integritas siap membantu bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengendalian korupsi di institusinya.
Dengan sumber daya yang telah berpengalaman selama lebih dua dekade dalam aktivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi serta banyak tools yang dimiliki tentu akan lebih efektif dan sesuai tujuan serta rencana pengendalian korupsi. Tentu bukan hanya di pemerintah daerah, tetapi juga di kementerian dan lembaga di tingkat pusat. Silahkan hubungi kami.