Disebut Proyek Kejar Tayang, RUU Sisdiknas Diminta Dihentikan
Disebut Proyek Kejar Tayang, RUU Sisdiknas Diminta Dihentikan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) telah merampungkan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). RUU tersebut masuk ke dalam Program Legisasi Nasional (Prolegnas) 2022. Namun, perdebatan publik terkait beberapa isu krusial dalam RUU Sisdiknas makin ramai, seperti wajib belajar 10 tahun, tunjangan guru, dan lain-lain.
Oleh karena itu, Visi Integritas menyelenggarakan webinar bertajuk “RUU Sisdiknas dan Tata Kelola Pendidikan” pada Sabtu (10/09/2022). Webinar ini menghadirkan Anindito Aditono, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan ; Almas Sjafrina, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) ; Taufik Basari, Anggota DPR RI Komisi III ; Jimmy Ph Paat, Pegiat Pendidikan.
Bertindak sebagai pembicara pertama, Anindito Aditono menegaskan bahwa RUU Sisdiknas ini baru memasuki tahap pertama dalam proses pembuatan undang-undang. Pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud Ristek akan membahas draft RUU Sisdiknas bersama DPR RI Komisi X. Terkait partisipasi publik, Anindito mengklaim, Kemdikbud Ristek sudah melibatkan 90 organisasi pendidikan, profesi, dan pakar pendidikan dalam menyusun draf RUU Sisdiknas ini.
Beberapa urgensi pembentukan RUU Sisdiknas, lanjut Anindito, adalah karena adanya tumpang tindih antarkebijakan. Ia mencontohkan, terkait standar pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas lama terdapat 8 standar, sementara dalam UU Dikti ada 6 standar.
“Hal itu salah satu contoh yang menghambat peningkatan kinerja, karena sangat administratif,” terang Anindito.
Anindito menjelaskan, RUU Sisdiknas ini merupakan jawaban atas tuntutan perkembangan zaman. Sehingga, perluasan wajib belajar menjadi 10 tahun dimasukkan ke dalam rancangan, tambahannya adalah Pendidikan Pra-Sekolah. Karena, lanjut Anindito, pendidikan usia dini menjadi fundamen sebelum anak memasuki pendidikan dasar.
Beberapa catatanpun diungkapkan oleh Taufik Basari, menanggapi RUU Sisdiknas ini. Terkait proses pembuatan draf RUU Sisdiknas, Taufik mendorong untuk membuka partisipasi publik yang bermakna, bukan sekedar formalitas. Artinya, harus ada ruang dialog yang aktif dalam merumuskan RUU Sisdiknas. Selain itu, pemerintah juga harus mempunyai road map pendidikan nasional.
Menurut Tobas, sapaan akrabnya, pendidikan merupakan hal paling fundamental yang menjadi alat untuk mencapai tujuan negara. Penyelenggaraan pendidikan, lanjut Tobas, menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai dengan amanat konstitusi. Ia pun menegaskan, “masyarakat hanya penunjang saja, jangan bebankan itu ke masyarakat demi mengurangi peran pemerintah.”
Akhir-akhir ini, banyak kekhawatiran dari masyarakat terkait pendidikan yang semakin komersil. Poin itu pun digarisbawahi oleh Tobas sebagai peringatan kepada pemerintah. “Kata nirlaba dalam tata kelola pendidikan harus diterapkan, jangan cuma jadi ornamen dalam Undang-Undang,” tegas Tobas.
Pada kesempatan yang sama, Jimmy Ph Paat juga turut memberikan komentar terkait RUU Sisdiknas. Beranjak dari Naskah Akademik RUU Sisdiknas, Jimmy mempertanyakan asal muasal definisi pendidikan yang ada di dalamnya. Sependek analisisnya, Jimmy menemukan banyak sekali nama Ki Hajar Dewantara di dalam Naskah Akademik. Tetapi, konsep Ki Hajar Dewantara tidak tertulis secara eksplisit.
“Dari halaman 24 sampai 39, terdapat 23 kali penyebutan kata Ki Hajar Dewantara, namun konsepnya tentang pendidikan merdeka tidak dijelaskan secara eksplisit,” jelas Jimmy.
Pensiunan dosen Universitas Negeri Jakarta ini pun turut menyayangkan, frasa Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) dihapus dalam RUU Sisdiknas. Sebab, menurut Jimmy, pendidikan guru harus diperhatikan ketika ingin menciptakan guru-guru berkualitas.
Selain Tobas dan Jimmy, Almas Sjafrina turut memberikan catatan kepada Kemdikbud Ristek terkait RUU Sisdiknas ini. Menurutnya, RUU Sisdiknas seolah menjadi proyek kejar tayang. Ia menyarankan untuk penundaan RUU Sisdiknas, sembari menjawab persoalan roadmap pendidikan dan tantangan zaman yang harus dijawab dalam undang-undang terbaru.
Almas menyarankan dalam RUU Sisdiknas harus menekankan aspek transparansi. Terlebih lagi, korupsi di dunia pendidikan sering terjadi. “Ketka pemerintah meminta kontribusi masyarakat dalam pendanaan, pemerintah juga harus memberikan transparansi kepada masyarakat,” tegas Almas.