Mengulik Bussines Judgment Rule Agar Tidak Terjerat Tipikor
Selama ini banyak pengurus korporasi terutama BUMN gamang. Sebagai direksi yang telah diamanahi untuk menjalankan roda perusahaan hendak melakukan yang terbaik, namun seringkali tersandung masalah hukum. Bahkan mengarah kepada tindak pidana korupsi, hanya karena kurang memahami manajemen resiko dan konsep tata kelola perusahaan yang baik.
Berdasar kenyataan tersebut, maka Visi Integritas Nusantara pada 15 September 2020 menggelar workshop secara daring dengan tema Bussines Judgment Rule (BJR) versus Tindak Pidana Korupsi. Acara ini menghadirkan narasumber Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, PhD guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi, Dr.Asep N Mulyana, Karo Hukum Dan Hublu Kejaksaan Agung Republik Indonesia serta Lalola Easter, S.H. peneliti di Indonesia Corruption Watch. Acara ini dimoderatori oleh Emerson Yuntho, deputy director Visi Integritas Nusantara.
Menurut Prof Hikmahanto kegamangan para direksi BUMN tersebut bisa jadi karena status dan posisi BUMN di Indonesia yang unik. Setidaknya ada tiga aturan yang mengatur BUMN itu, yaitu Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan kemudian pada akhirnya tetap dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bila berbicara tentang status aset dan penyertaan modal negara pada BUMN.
Menurutnya secara yuridis, modal yang disertakan ke dalam BUMN bukan lagi menjadi kekayaan orang menyertakan modal, tetapi menjadi kekayaan perseroan itu sendiri. Hal tersebut terjadi pemisahan kekayaan antara kekayaan pemegang saham dan perseroan. Negara sebagai penyetor modal kemudian memegang saham.
Namun pada pada kenyataannya BUMN banyak yang mengalami kerugian atau tidak mendapatkan keuntungan semestinya. Hal ini menjadi menjadi problem utama bagi negara, sehingga menjadi alasan negara terus memberikan subsidi ke BUMN dan terus mendapat porsi yang besar dalam kepengurusan perseroan.
Kenyataan lain aparat penegak hukum tetap banyak yang memproses tindak pidana yang terjadi di BUMN dengan undang-undang tipikor. Namun menurut Prof Hikmahanto, prinsip dasar yang harus dilihat dalam ranah pidana yang muncul dalam pengelolaan BUMN harus ada niat jahat yang harus bisa dibuktikan. Sepanjang tidak adanya unsur niat jahat dalam sebuah penyidikan tindak pidana di BUMN, maka tidak bisa dilanjutkan. Menurutnya, bila tidak ada unsur niat jahat itu hanya karena kesalahan dan kelalaian. Sehingga diperlukan SOP atau Standart Operasional Procedure dalam pengelolaan BUMN. SOP adalah upaya untuk mencapai pengelolaan perseroan dengan baik. Sehingga dari sinilah muncul konsep Bussines Judgment Rule (BJR) tersebut.
Menurutnya, BJR merupakan upaya menghindarkan dari tindak pidana (korupsi), semacam imunitas, namun harus dilakukan dengan bertanggungjawab dan iktikad yang baik. Kalau tidak ada niat jahat seharusnya cukup berhenti di pasal 97 UU Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Dengan catatan bahwa setiap tindakan direksi harus dilandaskan pada iktikad baik dan perbuatan yang jujur (prudence and good faith), accountable, responsible, without self-dealing or personal interest.
Pada sesi kedua Dr Asep Mulyana banyak bercerita pengalaman bagaimana dia sebagai aparat penegak hukum melakukan pentersangkaan direksi BUMN karena tindak pidana korupsi. Dua kasus yang dicontohkan adalah kasus penempatan dana PT Taspen di Bank Mandiri Rawamangun dan kasus penempatan dana oleh PT Elnusa di Bank Mega KCP Bekasi.
Pada kasus PT Taspen, alasan kenapa dia tetap masuk melakukan penyidikan adalah karena investasi di atas 10 milar tersebut dilakukan dengan melampaui kewenangan otorisasi investasi, karena tanpa persetujuan direktur utama. Ini menjadi pintu masuknya dan pada akhirnya unsur-unsur lain bisa diungkap usai penyidikan mulai dilakukan.
Menurut Asep, untuk menghindarkan dari jerat pidana bagi korupsi oleh pengurus perseroan BUMN maka harus tidak terdapat kecurangan, tidak terdapat penyesatan (misrepresentastion), tidak menyembunyikan kenyataan (concealment of facts), tidak terdapat manipulasi, tidak terdapat pelanggaran kepercayaan, tidak terdapat akal-akalan(subterfuge), serta tidak terdapat pengelakan terhadap peraturan (illegal circumvention).
Sehingga dalam kata lain pengurus perseroan dalam implementasi BJR ini harus menerapkan kehati-hatian (duty of care), patuh dan setia terhadap perseroan, bukan kepada pemegang saham (duty of loyalty), memiliki keahlian dan bertindak secara profesional (duty of skill), melakukan yang terbaik bagi perusahaan (duty of diligence), serta harus bertindak bukan dengan prinsip kewenagan tanpa batas. Harus sesuai tupoksi dan peraturan perundang-undangan (duty to act lawfully). Inilah sebenarnya prinsip BJR tersebut.
Sementara Lalola Easter dari ICW menyampaikan pengalamannya tentang advokasi kasus-kasus korupsi yang terjadi di BUMN yang diproses oleh KPK, Kejaksaan maupun kepolisian.
Sebanyak 45-an orang peserta tetap bergabung di acara ini hingga sore hari, termasuk juru bicara presiden Fadjroel Rachman.