Untuk Menghindar dari Tipikor bagi Pengurus BUMN/D: Yang Penting Jangan Ada Niat Jahat
Agar tidak terjerat tindak pidana korupsi, maka manajemen BUMN/D bisa menerapkan Business Judgment Rule dengan memastikan tidak ada niat jahat. Pembelaan tiadanya niat jahat ini sebaiknya dilakukan oleh pihak lain. Kemudian pastikan juga tidak ada unsur melawan hukum.
Itulah tips dan trik yang ditawarkan kepada pengurus BUMN dan BUMD yang kadang menjeratnya ketika menjalankan pengelolaan perusahaan. Hal itu disampaikan oleh Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, Ph.D. guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi dalam workshop “Mencegah Korupsi Korporasi melalui Penarapan Business Judgment Rule”, Jum’at, 27 Agustus 2021, Pukul 08.00-11.00 WIB.
Lebih lanjut Hikmahanto menambahkan, selain tiga hal dia atas juga menyarankan agar ada dokumentasi yang baik ketika mengambil keputusan. Juga harus mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan dalam pengelolaan perusahaan tersebut.
Sementara itu menurut narasumber lain, Adnan Pandu Praja, Business Judgement Rule (BJR) merupakan peraturan yang melindungi Direksi dan pengurus perseroan dari pertanggung jawaban atas kerugian perseroan akibat transaksi yang dilakukan oleh direksi dan pengurus perseroan, jika transaksi tersebut telah dilakukan dengan itikat baik, kehati-hatian dan sesuai batas kewenangan direksi dan pengurus perseroan.
Menurut pemaparan Hikmahanto dalam workshop yang diselenggarakan oleh Visi Integritas ini, dilema muncul ketika dalam menjalankan perusahaan, Manajemen Perusahaan pasti dihadapkan pada pengambilan keputusan. Baik keputusan untuk melakukan investasi hingga keputusan yang bersifat internal berupa pengadaan barang dan jasa. Dari sisi manajemen keputusan harus diambil, bahkan jika direksi tidak mengambil keputusan pun dianggap sebagai suatu keputusan. Namun demikian meski keputusan sudah diambil secara hati-hati (prudent) bukannya tidak mungkin perusahaan menderita kerugian atas keputusan yang diambil.
Nah, di Indonesia setiap pengambilan keputusan, baik yang berdampak positif maupun negatif bagi perusahaan, harus dipertanggung-jawabkan oleh manajemen yang dilakukan dihadapan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Bila pertanggung jawaban diterima maka Manajemen dibebaskan dari tanggung jawab perusahaan, termasuk bila ada kerugian yang diderita oleh perusahaan.
Namun demikian sesuai UU Perseroan Terbatas hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (3) bila perusahaan tidak bisa menerima pertanggung jawaban Manajemen maka Pemegang Saham dapat menuntut Manajemen memberikan ganti rugi.
Untuk mendapatkan ganti rugi, akibat kesalahan atau kelalaian dari Manajemen maka pemegang saham yang menggugat ganti rugi harus membuktikan bahwa Manajemen tidak memperhatikan BJR.
Sayangnya dalam konteks di Indonesia persoalan tak sesederhana itu. Karena manajemen yang memunculkan kerugian dalam BUMN bisa berdampak tidak saja pertanggung jawaban secara Perseroan sebagaiamna diatur dalam UU Perseroan Terbatas, tetapi dapat menyeretnya ke ranah pidana atau hal-hal yang berurusan dengan kejahatan. Hal ini disebabkan oleh adanya aturan di Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara yang menyebutkan bahwa Uang BUMN adalah Uang Negara.
Hal ini dipertegas lagi oleh pasal 155 UU Perseroan Terbatas yang menyebutkan Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Pidana.
Perdebatannya adalah apakah keuangan BUMN/D itu merupakan keuangan negara? Di pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara (UU No. 17/2003) menyebutkan bahwa: “Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi: (g). Kekayaan negara kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hal lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”
Klausul ini pernah digugat ke Mahakamah konstitusi. Sayangnya Putusan Mahkamah Konstitusi 62/PUU-XI/2013 yang menolak permohonan uji materi atas Pasal 2 huruf (g) UU No. 17/2003. Namun demikian putusan MK ini mengakui adanya BJR. Inilah celah yang bisa dipakai untuk berkelit dari jerat korupsi.
Meski masih banyak hal-hal yang menjadi hambatan penerapan BJR bagi manajemen BUMN/D agar bisa terhindar dari jerat korupsi, namun Hikmahanto optimis asalkan manajemen menerapkan hal-hal yang disebut di atas. Kemudian jugaa agar auditor dan aparat penegak hukum tidak selalu mengkatagorikan kerugian BUMN sebagai Tindak Pidana Korupsi, maka perlu disusun Kode Etik BJR.
Sementara itu Adnan Pandu Praja, yang merupakan Wakil Ketua KPK 2011-2015 dan Komisaris MRT Jakarta ini menambahkan agar manajemen perusahaan juga menerapkan sistem manajemen anti suap (SMAP) dan melengkapi peraturan-peraturan perusahaan agar lebih detail pengaturannya. Ia juga mengusulkan agar mengkompetisikan tata kelola perusahaan seperti IICD, IICG, Top BUMN award, dan lain-lain.