Selamatkan Tanah Papua dari Korupsi
Selamatkan Tanah Papua dari Korupsi
Kasus korupsi yang melibatkan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe menarik untuk dicermati. Terbaru Komisi Pemberantasan Korrupsi (KPK) menyebut Lukas Enembe memiliki dana operasional sebesar Rp.1 triliun per tahun. KPK menyebut tindakan Lukas ini sebagai grand corruption karena membuat suatu aturan yang melegalkan kegiatan-kegiatan menyimpang. KPK mencontohkan salah satu siasat jahat Lukas adalah membuat anggaran makan dan mnum untuk Gubernur sebesar Rp.1 miliar per hari dengan pertanggungjawaban yang fiktif.
Proses persidangan Lukas Enembe masih berjalan di Pengadilan Tipikor di Jakarta. Lukas didakwa Jaksa KPK menerima suap dengan total Rp 45,8 miliar dan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar. Selain korupsi, KPK juga menjeratnya dengan tindak pidana pencucian uang senilai Rp 88 miliar.
Peristiwa yang menimpa Lukas Enembe menunjukkan suramnya praktik korupsi yang terjadi ditanah Papua. Lukas bukanlah Gubernur Papua pertama yang terjerat, sebelumnya ada Barnabas Suebu, divonis empat tahun enam bulan penjara dalam kasus korupsi proyek infrastruktur senilai Rp 56 miliar. Tidak terhitung pula jumlah sejumlah Bupati dan pejabat di Pemerintah Kabupaten atau Provinsi di Papua yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum. Sudah banyak hasil temuan kerugian negara dan salah urus keuangan muncul di Papua berdasarkan temuan PPATK, BPK, Kejaksaan dan Kepolisian.
Tidak saja suram, korupsi di tanah Papua (Papua dan Papua Barat) juga ironis mengingat Provinsi tersebut masuk kategori sepuluh besar daerah termiskin di Indonesia. Lebih menyedihkan lagi adalah daerah yang menerima dana otonomi khusus (otsus) yang jumlahnya sangat fantastis. Hingga 2021, pemerintah pusat sudah mengucurkan dana otsus untuk Papua hingga mencapai Rp138,65 triliun. Jumlah itu meningkat berkali lipat sejak dikucurkan pertama kali pada 2002 yang hanya sebesar Rp1,38 triliun.
Area rawan korupsi di Papua umumnya terjadi di sektor pengelolaan anggaran daerah, proses perekrutan pejabat atau pegawai daerah, pemberian izin-izin sektor ekonomi maupun sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa serta pembuatan kebijakan.
Faktor pendorong korupsi terjadi karena besarnya kewenangan kepala daerah yang kemudian dimanfaatkan untuk memperkaya diri secara tidak sah. Kewenangan yang dimaksud adalah membuat regulasi, pengangkatan pegawai, penyusunan anggaran dan pemberian perizinan. Kewenangan yang besar tersebut seringkali tidak diimbangi dengan efektifitas fungsi pengawasan dari internal pemerintahan daerah oleh Inspektorat Pemda maupun parlemen daerah. Selain itu isu pemisahan dari Indonesia dan separatisme seringkali jadi alat bagi oknum pejabat Papua untuk melindungi diri dari pemeriksaan aparat penegak hukum.
Mewabahnya korupsi di tanah Papua sudah masuk kategori darurat korupsi, tidak bisa dibiarkan dan perlu diselamatkan segera. Tidak cukup dengan langkah biasa namun juga dengan cara-cara luar biasa. Penyimpangan dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat tak bisa dibiarkan. Pemerintah tidak boleh tutup mata atas kebocoran dana itu di mana-mana. Kebocoran itulah yang menyebabkan sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di sana tertinggal jauh dari daerah lain. Karena korupsi, kesejahteraan Papua masih jauh dari harapan.
Oleh karenanya agar Dana Otsus di tanah Papua tidak lagi dikorupsi maka selain penindakan yang keras dan memiskinkan maka perlu dilakukan Langkah-langkah pencegahan. Pemerintah perlu fokus untuk memperbaiki pengelolaan Dana Otsus termasuk memperkuat sistem pengawasan oleh Kemendagri hingga internal pemerintah daerah penerima dana. Kementerian Dalam Negeri perlu mewajibkan setiap daerah untuk membangun zona anti korupsi dan sistem pencegahan korupsi dalam proses anggaran, perizinan, pengadaaan barang dan jasa. Program pencegahan korupsi yang dinisiasi oleh KPK sebaiknya perlu dipaksa agar diikuti dan dipatuhi oleh masing-masing pemerintah daerah di tanah Papua.
Emerson Yuntho
Wakil Direktur Visi Integritas