Tantangan Digitalisasi dalam Tata Kelola Pendidikan
Tantangan Digitalisasi dalam Tata Kelola Pendidikan
Sudah banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa penerapan teknologi informasi (IT) dalam pengelolaan pemerintahan dapat menutup berbagai celah korupsi dan penyimpangan. Kita sering menyebutnya dengan istilah digitalisasi. Dengan IT, warga masyarakat dan pemangku kepentingan negara yang lain akan mendapatkan pelayanan yang lebih cepat, bebas dari kemungkinan diperas, dan lebih transparan.
Tak kurang, digitalisasi juga menyasar sektor pendidikan. Salah satu yang menjadi program quick win pemerintah dalam memperbaiki tata kelola pendidikan adalah penerapan kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis online dan zonasi. Terobosan ini tentu patut didukung mengingat selama ini banyak karut marut yang dihadapi masyarakat saat harus menyekolahkan anaknya ke lembaga pendidikan, terutama yang berstatus negeri. Meskipun tidak menutup kemungkinan masalah yang sama dihadapi saat orang tua murid mendaftarkan anaknya ke sekolah swasta.
PPDB online tentu secara teori akan mengurangi kemungkinan transaksi ilegal antara orang tua murid dengan pihak sekolah karena tidak perlu ada tatap muka dalam mengajukan pendaftaran. Sementara, data alokasi kursi setiap sekolah dibuka kepada masyarakat umum melalui satu kanal pendaftaran sehingga ada keterbukaan yang lebih baik.
Namun demikian, digitalisasi dalam PPDB bukan tanpa masalah. Ada berbagai tantangan yang sepertinya terjadi setiap tahun. Masalah terpeliknya adalah, bahwa sekolah selama ini telah menjadi perebutan sumber daya ekonomi dan politik bagi elit tertentu, baik yang berasal dari institusi negara maupun kelompok preman berjubah ormas. Kontrol mereka atas pengelolaan sekolah membuat intervensi IT tidak berjalan ideal karena ada kuota kursi yang tetap dibagi secara manual, diluar sistem PPDB online yang telah menjadi kerangka kebijakan pemerintah.
Selain itu, pendekatan IT dalam pelayanan publik, terutama dalam konteks PPDB membutuhkan akses teknologi yang setara antar warga masyarakat. Ketika ada warga yang memiliki keterbatasan atas IT, baik karena gadget, kuota data, serta sinyal internet yang minim, dihadapkan dengan warga lain yang memiliki akses besar terhadap berbagai hal ini, tentu kompetisi tidak berjalan adil.
Dengan demikian, PPDB online yang setiap tahun diselenggarakan pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi yang beragam di tingkat masyarakat agar kompetisi yang adil dapat terbangun. Sebenarnya, menggunakan istilah kompetisi dalam mendaftarkan anak ke sekolah, terutama untuk sekolah wajib, adalah sesuatu yang tidak tepat. Pasalnya, pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan layanan pendidikan dasar untuk semua warga negara tanpa kecuali.
Di luar itu, fungsi pengawasan -baik horizontal maupun vertikal- atas lembaga pendidikan perlu diperbaiki, agar kepentingan elit tertentu dapat diminimalisir sehingga sekolah bisa steril dari tarik menarik kepentingan di luar agenda membangun mutu pendidikan untuk kemajuan bangsa dan negara.***
Adnan Topan Husodo
Wakil Direktur Visi Integritas