Etika, Hukum, dan Rapuhnya Keadaban Publik
Etika, Hukum, dan Rapuhnya Keadaban Publik
Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia digegerkan dengan putusan Komisi Kode Etik Polri (KKEP) dalam kasus pidana korupsi suap dan gratifikasi yang melibatkan salah satu perwira tingginya, Irjen Napoleon Bonaparte (NB). KKEP menjatuhkan vonis demosi 3 tahun 4 bulan kepada NB, bukan memecat dengan tidak hormat sebagai konsekuensi penerimaan suap dan gratifikasi yang diterima bersangkutan karena membantu Tjoko Tjandra, terpidana DPO kasus korupsi cessie Bank Bali yang sedang diburu oleh aparat penegak hukum Indonesia. Bantuan itu dalam bentuk penghapusan data red notice di Interpol sehingga Tjoko Tjandra bisa leluasa masuk dan keluar Indonesia karena informasi sebagai DPO telah terhapus sehingga petugas Imigrasi tidak mungkin mampu mendeteksinya.
Atas putusan tersebut, setidaknya kita dapat melakukan analisis ke beberapa bagian mendasar di jantung peradaban etika dan hukum di republik ini. Tentu pertanyaan awalnya adalah, apakah pemerintah yang sedang memegang mandat rakyat memiliki keseriusan untuk memerangi korupsi yang telah berurat akar di nadi kehidupan sektor publik? Mengapa pertanyaan ini perlu kembali diajukan? Tentu validitasnya terletak pada dua konteks sekaligus. Pertama, Irjen NB merupakan penegak hukum, perwira tinggi Polri, dan memiliki otoritas mewakili penegak hukum Indonesia di Interpol yang telah menyalahgunaan wewenangnya. Kedua, fakta bahwa Irjen NB beserta rekannya di Kepolisian menerima suap dan gratifikasi dari Tjoko Tjandra, seorang terpidana korupsi yang sedang dicari oleh penegak hukum Indonesia karena melarikan diri ke luar negeri semestinya dimaknai sebagai masalah yang teramat serius. Bahwa penerimaan gratifikasi dan suap itu sendiri merupakan pelanggaran maha berat, apalagi penerimaan itu terkait dengan upaya membantu terpidana korupsi untuk bisa bebas masuk dan keluar Indonesia tanpa dideteksi.
Dari kacamata pikiran yang sehat (common sense), putusan KKEP yang berujung demosi alias penurunan posisi jabatan dan tanggung jawab tentu tidak layak sama sekali diberikan kepada Irjen NB. KKEP seperti kehilangan taji dan ruhnya sebagai penjaga etika Polri karena menganggap yang dilakukan Irjen NB adalah sesuatu yang dapat digaransi pintu maaf. Konsekuensi dari putusan demosi, jika tidak dikoreksi lebih lanjut, Irjen NB tetap bertugas sebagai anggota Polri aktif, menerima gaji setiap bulan, beserta tunjangan dan lain-lain, dan jika pensiun, akan mendapatkan hak pensiunnya. Apakah ini yang kita sebut sebagai rule of law ala Indonesia? Bukankah konstitusi dan UU memberikan tanggung jawab yang besar kepada pemerintah untuk memerangi korupsi?
Meskipun putusan itu telah melukai rasa keadilan masyarakat, masih ada ruang untuk melakukan koreksi. Kapolri, sebagai penanggung jawab utama di Kepolisian dapat melakukan peninjauan kembali apabila dalam putusan KKEP, ada berbagai pertimbangan penting yang tidak digunakan untuk memutus sebuah perkara. Perlu diingat bahwa etika adalah supra-struktur sebuah bangsa yang posisi dan derajatnya harus lebih tinggi daripada hukum tertulis. Sebuah bangsa yang beradab tidak ditunjukkan oleh UU-nya yang sangat baik, namun bagaimana etika itu dijadikan sebagai kompas kehidupan sehingga hal-hal yang bathil mudah sekali dipisahkan dari kebenaran.***
Adnan Topan Husodo, Wakil Direktur Visi Integritas