Lemahnya Tata Kelola Proyek Infrastruktur Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Lemahnya Tata Kelola Proyek Infrastruktur Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Indonesia sedang gencar membangun infrastruktur berskala besar, baik dengan melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun kongsi dengan investor swasta dalam negeri maupun dari negara lain. Sebut saja misalnya proyek IKN, proyek tol, LRT, MRT maupun kereta cepat. Karena berbagai proyek ambisius ini diinisasi oleh Pemerintah, dan berkaitan langsung dengan akuntabilitas pengelolaan kebijakan publik dan pengelolaan keuangan negara, maka sejak awal, termasuk pada saat perencanaan, berbagai prinsip penerapan tata kelola yang baik sudah musti diperhatikan.
Sayangnya, dalam praktek pengelolaan sumber daya publik yang tercermin dalam keputusan pemerintah di berbagai proyek tersebut telah menimbulkan kontroversi sejak di awal. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung merupakan salah satu yang penuh dengan ketidakjelasan. Padahal, sekali lagi, keputusan untuk mengadakan proyek ini ada di tangan pejabat publik yang notabene harus akuntabel dan transparan.
Saat tender awal dilakukan, Jepang sebagai salah satu negara peserta sudah mengajukan protes secara resmi kepada Pemerintah Indonesia. Namun, protes itu tidak digubris dan keputusan memilih China sebagai pemenang kontrak tetap diambil. Celakanya, masyarakat Indonesia tidak mengetahui, apa pertimbangan China dipilih sebagai pemenang, selain penawaran harga yang diajukan dianggap lebih murah.
Poin diatas pun pada akhirnya terbantahkan karena nilai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung melambung tinggi, melampaui dari apa yang pernah ditawarkan oleh Jepang. Menurut perhitungan BPKP RI, nilai proyek membengkak menjadi Rp 21,74 triliun dari estimasi awal. Pun dengan bunga pinjaman, mengingat proyek ini sebagian besar didanai oleh China Development Bank, mengalami kenaikan di tengah jalan, dari 2% pada awal kesepakatan, menjadi 3,4% di tahapan pembangunan. Padahal Jepang menawarkan bunga pinjaman jauh lebih murah, yakni hanya 0,2%.
Dimensi akuntabilitas lain yang minim adalah pada aspek kebijakan proyek yang pada awalnya dinyatakan sebagai program B to B (business to business), di tengah jalan berubah menjadi government to business. Dimana terjadi perubahan signifikan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 menjadi Perpres Nomor 93 Tahun 2021 yang memberikan karpet merah bagi penggunaan dana publik (APBN) sebagai kontribusi, mengubah kewajiban BUMN anggota konsorsium proyek kereta cepat yang pada awalnya harus mencari dana sendiri dari swasta. Tidak hanya itu, China sebagai pemasok dana proyek ini juga meminta hal lain kepada Indonesia, dimana APBN perlu menjadi jaminan proyek. Terakhir, Pemerintah menimbang pemberian subsidi untuk harga tiket kereta ini.
Dimensi kebijakan lain yang sangat jauh dari aspek akuntabilitas dan transparansi adalah, bahwa berbagai keputusan yang berubah itu tidak melalui mekanisme checks and balances yang sehat, dimana DPR RI sebagai lembaga kontrol eksekutif tidak berjalan sama sekali. Demikian halnya, tidak ada aspek akuntabilitas saat pejabat eksekutif mengambil keputusan untuk memilih China, menyepakati klausul proyek yang berubah dan berpotensi merugikan negara, dan menutup berbagai informasi publik atas proyek ini. Pendek kata, karena proyek kereta cepat Jakarta Bandung disusun di ruang gelap, berbagai beban dan konsekuensi yang harus ditanggung masyarakat dalam bentuk penggunaan APBN dan klausul kesepakatan yang merugikan Indonesia tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Sayangnya, daya kritis masyarakat juga menjadi sangat tumpul karena terlalu mencintai secara membabi buta para pejabat yang dipilihnya. ***
Adnan Topan Husodo (Wakil Direktur Visi Integritas)
Related Articles
Artikel Terbaru

Sistem Antipenyuapan di Pemerintah Daerah
September 27, 2023

Ilmu Pendidikan di Indonesia Sudah Lama Mati Bisakah Kita Hidupkan kembali?
September 20, 2023

Pentingnya Penerapan WBS Sesuai Standar ISO 37002
September 19, 2023
