Mencegah Korupsi Perusahaan Melalui Penerapan Business Judgment Rule
Mencegah Korupsi Perusahaan Melalui Penerapan Business Judgment Rule
Konsep Business Judgment Rule (BJR) sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas pada dasanya merupakan pelindung bagi direksi atau pimpinan perusahaan dapat melaksanakan tugas – melalui suatu keputusan bisnis yang diambil – dengan penuh tanggung jawab tanpa ada rasa takut akan djerat secara pidana khususnya tindak korupsi.
Namun faktanya, masih ada peristiwa dimana Direksi yang telah mengklaim menjalankan konsep BJR dalam pengambilan keputusan bisnisnya namun akhirnya membawa kerugian bagi perusahaan ternyata tetap dapat diproses secara hukum dan bahkan dihukum karena dinilai terbukti melakukan praktik korupsi.
Terbaru pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2022 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005, tentang pendirian, pengurusan, pengawasan dan pembubaran Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu pasalnya menyebutkan “Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian BUMN apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan,”
Peristiwa terkait dengan keputusan bisnis berujung pidana yang cukup fenomenal adalah kasus korupsi yang menimpa Karen Agustiawan (Mantan Direktur Utama Pertamina). Keputusan bisnis Pertamina untuk berinvestasi di Blok Migas Basker Mantan Gummy (BMG) Australia kemudian berujung pidana korupsi dan diproses oleh Kejaksaan Agung. Karen dianggap telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 568 miliar akibat kelalaianya dalam due diligence process pada investasi di Australia tersebut.
Pembelaan yang dilakukan oleh kuasa hukum dari Karen tentang penggunaan konsep BJR dan tidak adanya niat jahat (mens rea) tidak dikabulkan oleh hakim pada tingkat pertama. Pada 10 Juni 2019, Karen dinyatakan terbukti korupsi dan divonis 8 tahun penjara serta denda Rp 1 miliar. Putusan ini kemudian diperkuat di tingkat banding.
Beruntung 9 Maret 2020 lalu Mahkamah Agung (MA) pada akhirnya menjatuhkan amar putusan melepaskan Karen selaku terdakwa dari segala tuntutan hukum (onstlaag). Salah satu alasan Mahkamah Agung melepas Karen adalah karena apa yang dilakukan terdakwa Karen adalah “bussines judgement rule” dan perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Menurut Majelis Kasasi, putusan direksi dalam suatu aktivitas perseroan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun meski putusan itu pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi perseroaan. Hakim meyakinin bahwa tindakan Karen sebagai sebuah risiko bisnis, bertolak dari karakteristik bisnis yang sulit untuk diprediksi (unpredictable) dan tidak dapat ditentukan secara pasti.
Vonis 8 tahun penjara yang pernah dijatuhkan kepada Karen – meskipun akhirnya “bebas” di tingkat kasasi MA pada akhirnya menimbulkan polemik dan kekhawatiran banyak Direksi perusahaan maupun BUMN dalam mengambil keputusan bisnis. Muncul pertanyaan adalah apakah kiat atau saran bagi direksi atau jajaran pimpinan perusahaan agar dalam mengambil keputusan bisnis dapat menjalankan “Business Judgment Rule” secara benar dan terhindar dari jerat tindak pidana korupsi?
Pada prinsipnya BJR merupakan sebuah doktrin yang mengajarkan bahwa keputusan direksi dalam suatu aktivitas korporasi tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun meski keputusan tersebut membawa kerugian bagi korporasi. Namun pada demikian doktrin tersebut seringkali dibenturkan dengan karakteristik binis yang seringkali tidak dapat diprediksi dan ditentukan secara pasti akibat berbagai factor yang mempengaruhi.
Dalam dunia bisnis ada istilah semakin tinggi resiko yang diambil dalam suatu bisnis maka semakin tinggi pula keuntungan yang akan didapat suatu korporasi. Jika keputusan bisnis tersebut memberikan keuntungan bagi korporasi tentu saja tidak ada masalah. Persoalan akan muncul jika keputusan bisnis yang beresiko tersebut kemudian membuat korporasi merugi dan pada akhirnya dapat menyeret direksi, komisaris dan jajarannya untuk bertanggungjawab atas kerugian tersebut baik secara perdata maupun pidana.
Pertanggungjawaban jajaran direksi dan komisaris tersebut diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan bilamana bersalah atau lalai menjalankan tugas pengurusan dengan iktikad baik (good faith) serta penuh tanggungjawab. Lebih memberatkan lagi, dalam Pasal 155 UU PT, pertanggungjawaban Direksi/Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya tak mengurangi pertanggungjawabannya di bidang Pidana.
Kondisi demikian kemudian menimbulkan banyak kekhawatiran dari direksi ataupun komisaris dalam mengambil sebuah keputusan bisnis dan memberikan pengaruh bagi keuntungan korporasi. Celakanya saat ini tindakan tidak mengambil keputusan bisnis seringkali dimaknai juga sebagai sebuah “keputusan”.
Dalam tataran hukum positif di Indonesia tidak ditemukan secara tegas terkait dengan doktrin business judgment rule. Namun, apabila diteliti secara seksama, konsep business judgement rule sebenarnya telah diakomodir dalam ketentuan Pasal 92 dan Pasal 97 UU Perseroan Terbatas.
Substansi Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas, menyebutkan bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian suatu perseroan, apabila dapat membuktikan bahwa: (a) kerugian itu bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian itu.
Selain memberikan perlindungan terhadap Direksi Perseroan, Pasal 115 ayat (5) UU Perseroan Terbatas juga telah mengakomodir business judgement rule terhadap Anggota Dewan Komisaris ketika suatu perseroan mengalami pailit. Prinsip ‘iktikad baik’ yang dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (2) UU Perseroan Terbatas mengandung ‘jiwa’ dan ‘spirit’ dari doktrin business judgement rule. Dalam hal ini direksi tidak dapat dipersalahkan atas keputusannya sepanjang keputusan itu tidak mengandung unsur kepentingan pribadi, diputuskan berdasarkan informasi yang mereka percaya, oleh keadaan yang tepat dan secara rasional, serta merupakan keputusan yang terbaik untuk perusahaan.
Visi Integritas menyediakan jasa hukum untuk memastikan bahwa keputusan bisnis yang akan dihasilkan oleh manajemen di BUMN/BUMD sudah sesuai dengan doktrin business judgement rule sehingga tidak berujung pada pidana korupsi dan mencegah terjadinya kerugian bagi pihak perusahaan. Tim Visi Integritas terdiri dari expert dan auditor hukum yang kompeten, memahami regulasi antikorupsi dan berpengalaman lebih dari 15 tahun untuk isu pemberantasan korupsi. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Visi Integritas melalui HP 081389979760.
Emerson Yuntho
Wakil Direktur Visi Integritas