Rumitnya Mengelola Cukai Rokok di Masa Pandemi: Naikkan dan Sederhanakan Tarif
Hari Senin 31 Mei 2021 bertepatan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau World No Tobacco Day (WNTD). Hari Tanpa Tembakau Sedunia ini adalah untuk mengedukasi kepada masyarakat tentang bahaya penggunaan tembakau. Negara-negara anggota WHO mencanangkan Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 1987.
Slamet Widodo dari BKF Kementerian Keuangan, ketika menjadi narasumber webinar Peningkatan Penerimaan Negara Melalui Aksi Fokus Keuangan Negara, 3 Mei 2021 lalu menyebutkan bahwa PBNP dan cukai sebenarnya bukan penyumbang terbesar penerimaan negara. Penerimaan negara terbesar dan utama adalah pajak.
Namun tren peningkatan penerimaan negara atas cukai ini lebih tinggi dibanding pajak. Ini terjadi justri pada masa pandemi tahun 2020. Penerimaan cukai hasil tembakau menyumbang 10.4 persen bagi pendapatan negara tertinggi sepanjang sejarah. Fakta ini seakan menjadi ilusi bagi pemerintah yang sedang mengalami kesulitan menggenjot penerimaan negara setelah didera pandemi.
Benarkah cukai rokok ini telah menyihir kesadaran pemerintah sehingga tak bergeming dengan tuntutan banyak pihak agar jangan melupakan kesehatan rakyat karena terpapar rokok, demi mempertahankan penerimaan cukai rokok? Mencoba mengurai sisik melik pengelolaan cukai rokok ini, Visi Integritas menggelar Webinar dalam rangka Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2021, dengan tema Kerumitan Struktur Cukai Rokok Versus Indonesia yang Lebih Sehat. Acara digelar tepat pada hari peringatan hari tanpa tembakau sedunia, Senin, 31 Mei 2021.
Visi Integritas mengundang beberapa narasumber seperti Faisal Basri (Ekonom, Dewan Pembina Komnas PT), Olivia Herlinda (Direktur Kebijakan CISDI), Dr. Abdillah Ahsan (Pengamat Ekonomi staf pengajar FEB UI) dan Pungkas Bahjuri (Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat BAPPENAS). Sayang Pungkas harus mengikuti rapat dengan presiden sampai berakhirnya acara ini. Sehingga digantikan oleh Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, M.Sc (Kasubdit SDM dan Pembiayaan Kesehatan Bappenas). Acara ini dimoderatori oleh Imam Priyono.
Ada kontradiksi terkait pengendalian tembakau di Indonesia. Pemerintah selalu menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi harus ditopang oleh dan bisa menghasilkan masyarakat yang sehat. Namun dalam kenyataannya, rokok yang oleh banyak kalangan dianggap bisa merusak kesehatan, merusak paru‐paru, bahkan di era pandemi ini juga ditengarai memperparah Covid‐19 masih terus digadang-gadang menjadi tumpuan penerimaan negara. Ada beberapa alasan sehingga pemerintah gamang belum dapat pengganti cukai rokok.
Akibatnya penaikan tarif cukai rokok yang diharapkan bisa mengurangi keterjangkauan rokok oleh daya beli masyarakat jauh panggang dari api. Ditambah lagi skema penentuan tarif cukai rokok yang rumit di Indonesia saat ini justru menghilangkan potensi penerimaan negara dari cukai rokok. Sudah ada upaya pembenahan oleh pemerintah dalam hal ini Badan Perencanaan Pembanguan Nasional (Bappenas) namun masih menemui kendala.
Untuk sekedar diketahui, untuk menentukan skema tarif cukai rokok, Industri rokok dikelompokkan menjadi Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan(SKT). Untuk ketiga kelompok ini kemudian dibagi lagi menjadi 10 layer tarif. SKM dan SPM merupakan industri rokok besar dan perusahaan rokok multinasional. Sementara SKT adalah industri rokok kecil yang produksinya di bawah 277 miliar batang per tahun.
Idealnya untuk mencapai pengendalian tembakau yang efektif adalah satu tarif. Namun tarik ulur antara banyak kepentingan seperti pengusaha rokok, pemerintah yang ingin tetap adanya penerimaan dari cukai rokok, kementerian kesehatan, petani tembakau, maka akhirnya menemui kompromi penerapan Kebijakan dengan banyak skema tarif itu. Menurut kajian Ahsan, dengan mengubah ke satu tarif maka negara mendapatkan kenaikan 40 triliun rupiah dari cukai rokok.
Selain tarik ulur kepentingan tersebut, ada banyak hal yang membuat pengaturan skema cukai rokok semakin rumit. Hasil pengamatan Ahsan, ternyata setiap tahun politik (penyelenggaraan pemilu) ada fakta bahwa tarif cukai rokok tidak dinaikkan. Menurut analisa Ahsan, hal ini diduga karena pemerintah sebagai regulator dan ditekan oleh para politisi berharap perusahaan-perusahaan rokok ini mau membiayai kontestasi politiknya.
Riset CISDI yang dipaparkan oleh Olivia Herlinda semakin memperkuat dugaan ini. Riset ini merupakan upaya memetakan dan memvisualkan wacana kontroversi simplifikasi tarif cukai tersebut dengan menggunakan Metode Discourse Network Analysis (DNA).
Dalam kontroversi wacana ini setidaknya ada dua pihak, dimana satu pihak mendukung penyederhanaan skema tarif cukai dan ada pihak yang menentang penyederhanaan tarif itu. Ada banyak temuan dari kajian ini. Misalnya narasi apa saja yang dipakai para penentang dan penyokong penyederhanaan tarif itu. Juga siapa saja aktor yang bermain dalam diskursus tersebut. Banyak politisi di Senayan berdiri di belakang Kementerian Keuangan yang menginginkan penyederhanaan tarif. Sementara kementerian perindustrian dan ketenagakerjaan yang didukung oleh partai Golkar dan Demokrat berada dalam posisi menolak penyederhanaan tarif tersebut karena ada argumentasi untuk melindungi industri rokok dan tenaga kerja.
Renova secara tegas menyebutkan bahwa pemerintah secara tegas dan telah dituangkan dalam RPJMN telah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai dan menyederhanakan skema tarif cukai. Faisal Basri mendukung apa yang dilakukan pemerintah ini.
Faisal menyebutkan bahwa bangsa ini harus membangun masyarakat yang sehat sebagai pondasi bagi kualitas SDM yang Tangguh. Pengaturan cukai rokok ini menjadi masalah krusial dalam narasi ini. Sehingga kita semua harus berani mendorong kebijakan penaikan tarif dan penyederhanaan skema tarif cukai rokok. Ini sebuah kompromi yang tidak mematikan industri rokok, namun juga tidak menyerahkan ekonomi Indonesia kepada industri rokok yang merusak kesehatan.
Materi/ bahan webinar ini tersedia di sini…