Mencegah Korupsi Politik
Mencegah Korupsi Politik
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menerbitkan instruksi dan memorandum untuk menunda pengaduan, pelaporan, dan proses hukum kasus pidana korupsi yang melibatkan peserta Pemilihan Umum 2024. Penundaan dilakukan hingga gelaran pesta demokrasi tersebut usai. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, tujuan instruksi untuk menjaga independensi dan netralitas agar penegakan hukum tidak dijadikan alat untuk kepentingan politik.
Sudah tentu semua pihak mendukung agar aparat penegak hukum tidak dijadikan sebagai alat politik. Guna menjegal atau menyandera pihak-pihak tertentu. Tapi menghentikan penegakan hukum peserta pemilu 2024, walau sementara, justru malah sarat kepentingan politik. Kejaksaan justru terkesan melakukan politisasi dengan memberi angin segar bagi para pelaku korupsi untuk turut berkontestasi menduduki jabatan-jabatan politik.
Padahal dalam sejarah pemberantasan korupsi Indonesia, korupsi politik merupakan sumber dari segala korupsi. Sebagian besar kasus korupsi di level nasional maupun lokal, bermula dari korupsi politik. Para pejabat politik merancang dan menginisiasi korupsi, lalu mendorong, memaksa, bahkan mengancam birokrasi untuk mengeksekusi rencana mereka.
Puluhan kasus bisa dijadikan sebagai contoh. Mulai dari pengadaan bantuan sosial penanganan Covid di Kementerian Sosial, KTP elektronik, izin ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga pengadaan Al-Qur’an. Selain itu, sebagian besar korupsi di daerah dikomandoi oleh kepala daerah dan terkadang dengan sokongan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Karena korupsi politik selalu diinisiasi oleh pejabat-pejabat hasil pemilu, maka cara untuk mencegahnya dengan memastikan agar rekrutmen para politisi dilakukan secara berintegritas. Pemilu merupakan arena utama rekrutmen para politisi. Itu sebabnya, penyelenggaraannya mesti dilakukan secara jujur, adil, dan berintegritas.
Penyelenggaraan pemilu berintegritas tidak hanya pada saat pemungutan dan penghitungan suara. Tapi sudah dimulai dari seleksi kandidat yang akan diusung oleh partai politik, juga pembuatan dan penegakan aturan main. Idealnya, seleksi awal oleh partai politik dengan memilih kader atau orang terbaik yang memiliki kualitas dan integritas untuk disodorkan kepada pemilih. Tapi kita sama-sama tahu, banyak partai yang saringannya rusak. Seleksi hanya didasarkan pada kemampuan keuangan. Seleksi awal oleh partai politik justru kerap diwarnai politik uang dengan meminta mahar atau uang perahu kepada kandidat yang ingin dicalonkan.
Harapan tinggal di tangan penegak hukum dan rakyat sebagai pemilih. Aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung harus bisa lebih proaktif menjaga integritas penyelenggaraan pemilu. Menjadi saringan kedua dengan caran memastikan agar aturan dijalankan dan menjaga agar peserta yang berkompetisi tidak belepotan masalah. Jika partai tidak mau atau tidak mampu menyingkirkan kandidat yang korup, peran tersebut mestinya dijalankan penegak hukum.
Jadi penegakan hukum kasus korupsi mestinya tidak boleh terganggu oleh perhelatan pemilu. Sebaliknya, aparat hukum mendukung penyelenggaraan pemilu agar berintegritas dengan melakukan ‘seleksi awal’. Mengeliminasi mereka yang memiliki rekam jejak buruk dan terlibat korupsi. Di tahun politik, penegak hukum justru mesti lebih garang, tidak pandang bulu.
Ketegasan aparat penegak hukum juga akan membuat ciut nyali peserta pemilu untuk menggunakan sumber dana dan daya negara dalam memenangkan persaingan. Sebab sudah bukan rahasia jika kemenangan peserta terutama para petahana dalam pemilihan karena mereka bisa dengan mudah menggunakan program dan anggaran negara sebagai modal pemenangan.
Masyarakat sudah cerdas dan mampu membedakan penegakan hukum yang serius dan politis. Sekali lagi moratorium penegakan hukum kasus korupsi di tahun politik malah akan dipandang sebagai langkah politis. Kejaksaan Agung mesti mempertimbangkan kembali keputusannya. Selain itu, masyarakat sebagai pemilih pun mesti lebih cerdas, menjadi saringan terakhir, memilih berdasarkan pertimbangan rasional terutama terkait rekam jejak, kualitas, dan integritas kandidat.
Adę Irawan
Direktur Visi Integritas